ketika menanggapi status saya "BERMAIN DI TEPIAN PANTAI REGULASI" yang Kemudian ditautkan oleh saudara saya Darius Boro Beda di ruang Suara Flotim;
☆ " Sorotan tajam justeru pd soal Kebijakan Publik. Uraian rujukan hukum yg dipaparkan hy jelaskan argumen di balik kebijakan. Sayangnya rujukan dimaksud "gugur" dg sendirinya ketika kebijakan ini diambil stlh ada kekuatan hukum mengikat lwt APBD. Semua analisis ini semestinya sdh tuntas di pembahasan RAPBD (Perda).
▪Saya sepakat bahwa dalam dinamika diskusi ber- caption Honor para Tenaga Kontrak di RSUD Larantuka, sorotan paling tajam adalah pada Soal Kebijakan Publik.
Tapi saya kira sudah semestinya setiap kebijakan publik yang dipermasalahkan harus dijelaskan adanya rujukan hukum sebagai argumentasi dibalik lahirnya sebuah kebijakan itu.- Sayangnya argumentasi hukum dimaksud belum kita dengar dari Pejabat yang berkompeten. - Yang ada hanyalah goresan pandang orang-orang kampung seperti saya yang sejatinya tidak memiliki kapasitas kompetensi dan Kewenangan untuk melakukan tindakan itu.
Saya pun berpikir bahwa jika saja argumentasi hukum dari Pejabat yang BERWENANG sama atau mirip dengan yang telah saya lukiskan pada Postingan sebelumnya, maka rujukan hukum itu TIDAK serta merta "gugur" dengan sendirinya dengan alasan sudah ada kekuatan hukum yang mengikat melalui APBD,- tentu maksudnya Perda tentang APBD Tahun Anggaran 2020.
MENGAPA ?
Karena DUGAAN saya, Formula Pengaturan dalam Perda APBD memuat item Program dan Kegiatan dengan alokasi anggaran yang bersifat Akumulatif atau boleh diistilahkan dengan Angka Gelondongan.
Artinya TIDAK mengatur secara limitatif pemetaan dan uraian jumlah anggaran yang dipangkukan ke masing2 kebutuhan kegiatan dan Program termasuk Honorarium Tenaga Kontrak di OPD yang bersangkutan.
JIKA dugaan ini benar maka logika yang boleh dibangun adalah Pemda dalam hal ini Bupati memiliki cukup alasan sebagai Otorisator anggaran untuk mengeksekusi anggaran dimaksud yang tentunya harus sesuai regulasi yang sudah ditetapkan yakni Perbup tentang Standar Biaya Umum. Dan itu menurut saya tidak bertentangan dengan Perda APBD TA 2020.
Saya pikir, hal penyusunan Rancangan dan peristiwa Pembahasan APBD oleh kedua Lembaga Pemerintahan kita dilaksanakan pada saat Perbup tentang SBU sudah ditetapkan dan seyogianya itu menjadi perhatian serius dalam merancang dan membahas anggaran dimaksud.- maka akan lahir pertimbangan dan keputusan bersama yang lebih rasional dan lebih akomodatif. TETAPI jika saja peristiwa perancangan dan pembahasan APBD telah mengabaikan Perbup SBU, maka mungkin ini yang menjadi benang merah SOAL yang hingga kini terus seksi untuk diperbincangkan.
TENTU saja Bupati dinyatakan melakukan KESALAHAN apabila mengeluarkan anggaran untuk sesuatu pembiayaan yang bertentangan dengan Perbup SBU.
☆Dari sisi Kebijakan, sah sj seorg Kepala Daerah mengambil keputusan itu. Hy apakah kebijakan ini py legitimasi sosial & pltk yg kuat ? Teori Sisa (Freies Ermesen) dlm ilmu kebijakan publik memungkin hal itu tp mensyaratkan ada unsur kevakuman regulasi & ada kegentingan memaksa. Pd aspek ini, agaknya, kebijakan ini tdk memiliki dasar argumentasi yg kuat. Kr msh ada Perda APBD 2020 sbg payung hukum & blm ada kegentingan (kecuali sept kasus perang tandingndi Adonara).
▪Saya kemudian berpikir bahwa soal Legitimasi sosial dan Politik dalam konteks kebijakan ini, masih sulit diukur kekuatannya.
SECARA SOSIAL, kita bisa melihat seberapa besar resistensi publik yang TEREPRENTASI melalui kelompok -kelompok Publik dan SECARA POLITIK kita boleh melihat apakah Komisi sebagai alat kelengkapan dewan memiliki kewenangan secara prosedural dan substansial untuk menjadi representasi Lembaga DPRD dalam hal ini. -
Saya pikir kedua kekuatan ini perlu dilihat secara komprehensif sehingga dapat diketemukan benang merah pemahaman yang tepat dalam memastikan Kekuatan Legitimasi nya.
Dari Kebijakan Publik kita geser ke konsekuensi hukum:
☆Skr kebijakan ini sdh "post factum" dg segenap konsekuensinya: Pemda dpt dianggap mengabaikan hak dasar warga negara, bs ke PTUN & Pemda dianggap Wanprestasi kr melanggar Kontrak Kerja pd Januari lalu, bs dibawa ke gugatan Perdata. Soalnya: apakah para tenaga kontrak itu berani mengambil 2 langkah hukum ini ? Sy meragukan, mengingat kondisi psikososial yg kini menjerat mrk. Soal ini mengantar kita ke kajian psikopolitik dimana para tenaga kontrak ini dlm situasi yg tdk berdaya: minimnya lap kerja, sdh terlanjur balik kampung dll. Kini, usai aksi mogok, mrk hrs berhadapan dg kuat kuasa nya birokrasi & pltk lokal di tangan penentu kebijakan. Kalo akhirnya mrk hrs tandatangan, itu sebuah kondisi yg tak terhindarkan.
▪JIKA Kebijakan ini dianggap sudah "Post Facum" dan Pemda dianggap telah mengabaikan Hak Dasar Warga Negara dalam Kerangka Perikatan Kerja maka saya pikir langkah hukum yang dapat ditempuh adalah melalui Gugatan Perdata kalau salah satu pihak dalam hal ini Tenaga Kontrak merasah ada semacam Wanprestasi yang telah dilakukan oleh Pemda.
TETAPI Kalau ke PTUN, saya pikir tidak ada Obyek yang dapat dijadikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara.- Tidak ada Keputusan TUN yang boleh menjadi obyek yang disengketakan di Pengadilan Tata Usah Negara. Di sana hanya ada Perda, Perbup dan Naskah Kontrak Kerja. - Ketiga dokumen ini tidak masuk kualifikasi obyek TUN.
Kalau saya keliru atau salah tolong diluruskan dan dibenarkan.
JIKA langkah hukum ini tidak bisa dilakukan karena kondisi Psikososial yang sedang menjerat para Tenaga Kontrak sehingga dengan ketidak berdayaannya harus menandatangani Kontrak, saya pikir bahwa INI SOAL terbesar bagi siapa saja yang sedang "GEMES" dengan keadaan ini. Lantas ?
Dari psikologi kita ke konsekuensi politik:
☆DPRD lwt Komisi C sdh ckp tegas: Tenaga Kontrak digaji sesuai APBD 2020. Kebijakan Bupati dpt dinilai mengangkangi suara wakil rakyat di DPRD & dg itu dpt dinilai pula melanggar Perda (APBD) yg sdh ditetapkan bersama.
▪Tentang Ketegasan DPRD lewat Komisi C, Mungkin baik pula kalau kita coba melihat Pasal 54 Peraturan DPRD Kabupaten Flores Timur Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Tata tertib DPRD Kabupaten Flores Timur.
Dengan membaca pasal ini, saya kemudian berpikir bahwa banyak pihak telah menganggap bahwa sedang ada semacam perseteruan antara DPRD Flotim vs Pemda akibat ada perbedaan sikap atas case ini. TETAPI BAGI SAYA, TIDAK. Bisa saja saya salah, tetapi Saya berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh Komisi C masih pada tataran internal Lembaga DPRD yang memang belum didefinisikan sebagai sebuah sikap Kelembagaan. Dan saya sangat yakin bahwa Komisi C masih sedang dalam Proses lanjutan seturut mekanisme kelembagaan untuk nantinya akan mengerucut pada sikap dan Keputusan Lembaga.
Oleh karena itu, MEMBENTURKAN sikap antara kedua Lembaga yakni DPRD dan Pemda pada tataran ini DAN SAAT INI adalah KELIRU.
Tapi sekali lagi, bisa saja saya salah dan mohon diluruskan.
☆Skr "bola panas" nasib tenaga kontrak ini ada di tangan DPRD yg bs menempuh langkah: Pansus menuju penggunaan Hak-Hak DPRD sept Bertanya, Interpelasi atau Angket."
▪Saya pikir, peristiwa hukum penandatangan "Pembaharuan" Kontrak Kerja adalah akhir dari polemik soal Honor Tenaga Kontrak antara para pihak yang melakukan Kontrak.
Selebihnya adalah soal pelaksanaan Fungsi Budget Lembaga DPRD untuk meminta klarifikasi Pemda terkait persetujuan anggaran dalam Pembahasan dan Penetapan APBD TA 2020.
Pada tataran ini, TENTU saja Hasil Kerja Komisi C selama proses pengaduan dan pengajuan Aspirasi para Tenaga Kontrak menjadi sangat Penting dalam pencermatan Lembaga DPRD Kabupaten Flores Timur.
Senior saya kaka Stanis Herin,
Mohon maaf. Tidak bermaksud membangun Polemik di atas Pandangan senior. - saya hanya sedang belajar mendalami pandangan senior dan belajar untuk berpendapat.
Salam Keru Baki.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar