Senin, 23 November 2020

POTRET PEMERINTAHAN, PENDAPATAN DAN KENDALA PEMBANGUNAN DESA DI KABUPATEN FLORES TIMUR


Catatan ringan Rofin Kopong  perihal ber-desa di Lewotana

I. POTRET PEMERINTAHAN

LIMA BULAN memang bukan waktu yang cukup untuk dapat melihat dan mencermati sampai ke –kedalam -an sesuatu. Apalagi sesuatu itu terkolaborase menjadi satu tali-temali yang tidak boleh terpisah satu sama lain  antara Subyek dan Obyek seperti halnya  Pemerintahan desa dan dinamika pembangunannya. Disana ada Kepala Desa dan jajaran perangkat, ada pula Badan Permusyawaratan Desa, ada lembaga kemasyarakatan, ada karangtaruna, ada Badan Usaha Milik Desa yang lazim disebut BUMDES, ada pemimpin informal seperti Tua Adat dan Tokoh-Tokoh masyarakat dan sejumlah elemen lainnya yang tentu saja ikut memangku kepentingan bersama soal pemerintahan dan dinamika pembangunan di desa dan kedepannya boleh jadi akan dibentuk Lembaga Adat desa.

LIMA BULAN ditugaskan oleh Bupati Flores Timur untuk melaksanakan sejumlah tugas dinas sebagai ASN pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, saya memulai belajar untuk me-nemu-kenali seperti apa potret 229 (dua ratus dua puluh sembilan desa) di Kabupaten Flores Timur yang tersebar indah sebagai Lewo dalam wilayah administrasi pemerintahan; mulai dari perbatasan Sika Kereowe hingga ujung Tanjung Bunga, dari Wotan Ulu Mado sampai ujung timur Adonara dan pada tana berbatu Solor Watan Lema.  229 (Dua ratus dua puluh sembilan) desa dimaksud berada dibawah kendali fungsi administratif dan koordinasi 19 (sembilan belas) Kecamatan.

Memulai bekerja sambil belajar adalah sesuatu yang sangat menawan hati. Hati sungguh tertawan hingga terpenjara dalam bilik dinamika hidup berdesa. Dari situlah saya mulai berproses. Dalam berproses, saya banyak bertanya dan mengajak berdiskusi dengan Kepala Dinas, sekretaris, para Kepala Seksi di Bidang ini serta jajaran staf. Tentu saja memulai dengan mengenal nama-nama desa dengan sejumlah dokumen perencanaan (RPJMDesa, RKPDes, RAPBDes, APBDes dan pelaksanaan anggarannya yang sudah tereksekusi dalam Tahun Anggaran sebelumnya dengan tercatatnya berbagai dokumen indikator dan out-put kegiatannya dalam dokumen laporan penyerapan anggaran yang disebut dengan Laporan Realisasi Anggaran/ LRA. Tentu pula mulai berupaya untuk mengenal para Kepala desa dan perangkatnya serta Badan Permusyawaratan Desa pada 229 desa adalah hal positip yang dirasah penting untuk dilalui. Dengan demikian, kendatipun belum semua yang sudah saya temui dan kenali dengan lumayan baik, tetapi mengetahu jumlah untuk kemudian menghitung berapa dana dari sumber Alokasi Dana Desa (ADD) yang HARUS terserap untuk membayar SILTAP dan TUNJANGAN  bagi para Kepala Desa dan Perangkat serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam satu tahun anggaran adalah penting dalam kerangka memastikan hak-hak mereka sebagai konsekwensi logis dari pelakaksanaan tugas jabatan di desa.

Berdasarkan Data Daftar Nominatif Kepala Desa, Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa Kabupaten Flores Timur pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa per Juli tahun 2020, jumlah keseluruhan Kepala desa: 229 orang, Sekretaris : 229 orang, Kepala Urusan: 687 orang, Kepala Seksi :687 0rang dan Kepala dusun : 780 orang. Terakumulasi secara Total  sebanyak: 2.612 orang.  Sedangkan jumlah Badan Permusyawaratan Desa; Ketua : 229 orang, Wakil Ketua : 229 orang, sekretaris : 229 orang dan anggota : 736 orang. Terakumulasi secara Total sebanyak 1.423 orang. 

Jumlah keseluruhan Kepala desa bersama Perangkat dan Ketua/Anggota BPD mencapai 4035 orang. Artinya dalam satu hari kerja, terdapat 4035 orang yang beraktivitas di desa  dalam rangka mengurus penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan. Jika demikian, maka seyogianya atas nama desa, Lewotana Lamaholot ini sudah jauh berkembang dari aspek out-put pembangunan.

            II. POTRET PENDAPATAN DESA

Secara normatif,  Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan sejumlah Peraturan Pelaksananya, konteks pendapatan desa diregulasikan dengan runutannya  berangkat dari perihal Keuangan dan Aset Desa yang ditegaskan secara limitatif dalam pasal 71 sampai dengan Pasal 77 UU Nomor 6 Tahun 2014.

Pada sejumlah pasal yang disebutkan di atas, terurai secara jelas definisi Keuangan Desa yang didalamnya berhubungan pula dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hal mana, perihal hak dan kewajiban dimaksud, berimplikasi pada Pendapatan, Belanja, Pembiayaan dan Pengelolaan Keuangan Desa.

Dalam konteks Pendapatan, sebagaimana dalam Pasal 72 UU Nomor 6 Tahun 2014, desa memiliki sumber pendapatan yang terdiri dari; 1).Pendapatan Asli Desa,  2).Alokasi Pendapatan dan belanja negara yang masuk ke Rekening Kas Desa/RKD sebagai Dana Desa, 3).Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/kota yang masuk ke Rekening Kas Desa sebagai Bagian dari Bagi hasil Pajak/BHP, 4). Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota yang kemudian masuk dalam Rekening Kas Desa sebagai ADD,   5). Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten, 6). Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ke tiga, 7). Lain-lain pendapatan desa yang syah.

Dari sumber-sumber pendapatan yang disebutkan, hanya ada 3 ( sumber pendapatan yang sudah barang tentu masuk ke Rekening Kas Desa dalam setiap tahun anggaran adalah; 1) Alokasi Pendapatan dan belanja negara yang masuk ke Rekening Kas Desa/RKD sebagai Dana Desa, 2). Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/kota yang masuk ke Rekening Kas Desa sebagai Bagian dari Bagi hasil Pajak/BHP dan 3) Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota yang kemudian masuk dalam Rekening Kas Desa sebagai ADD.

Mari kita lihat secara cermat ketiga Sumber Pendapatan Desa ini :

*DANA DESA/ DD:

Dalam Tahun Anggaran 2020, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2019 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Dana Desa, telah ditetapkan Pagu Indikatif untuk Kabupaten Flores Timur sebesar Rp.176.945.708.000. – yang kemudian diikuti dengan Peraturan Bupati Flores Timur Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Tata cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa untuk setiap Desa Tahun Anggaran 2020.

Dalam perjalanan waktu, sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 maka lahirlah kebijakan Refocusing dan Realokasi anggaran melalui Peraturan Mentri Keuangan Nomor 35 /PMK.07/2020 Tentang Pengelolaan Transfer daerah dan Dana desa Tahun Anggaran 2020 dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional sebagai perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 205 Tahun 2019 yang mengatur adanya perubahan pagu indikatif tingkat Kabupaten Flores Timur menjadi  Rp. 174.470.905.000.- Artinya jumlah pagu indikatif mengalami pengurangan dari semula sebesar Rp. 2474.803.000. Maka ditetapkanlah Peraturan Bupati Flores Timur Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan kedua atas Perbup Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Tata cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa untuk setiap Desa Tahun Anggaran 2020. 

Nah, ....

Dengan ditetapkannya Peraturan Bupati Flores Timur dimaksud, maka pagu indikatif untuk masing-masing desa di Kabupaten Flores Timur mengalami pengurangan  sebesar Rp. 10.807.000.-  Pengurangan ini terjadi pada Indikator Alokasi Dasar.- Sebagaimana diketahui bahwa  dalam hal penetapan Pagu Indikatif Kabupaten, digunakan 4 (empat) Formula Perhitungan yakni ; Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, Alokasi Kinerja dan Alokasi Formula)

Dengan demikian maka, pagu indikatif untuk masing –masing desa di Kabupaten Flores Timur dalam Tahun Anggaran 2020 adalah rata-rata paling rendah Rp.700.000.000.- sampai dengan Rp. 1.200.000.000- Sekali lagi Angka yang sungguh Fantastis.

Dana Desa untuk masing-masing desa sebagaimana pagu yang sudah ditetapkan, diperuntukan bagi Biaya Pelaksanaan kegiatan Pembangunan Desa baik Fisik maupun Non Fisik.

*ALOKASI DANA DESA /ADD

Alokasi Dana Desa atau yang disebut dengan ADD ini merupakan pula sumber pendapatan desa yang berasal dari Dana transfer Daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Umum/DAU. Perhitungan untuk mendapatkan jumlah ADD bagi setiap desa adalah dengan menggunakan rumusan Total  DAU dikurangi DAK dikali Paling kurang 10%.

Dalam Tahun Anggaran 2020, pasca kebijakan Revocusing dan realokasi, Total ADD untuk 229 desa sebesar :Rp.76.658.929.455.-

Dari total ADD dimaksud, teralokasi sebesar :Rp.73.869.131.760 untuk  pembayaran Penghasilan Tetap/ SILTAP Kepala desa/Perangkat dan Tunjangan Badan Permusyawaratan Desa/BPD.

Mari kita lihat kemana serapan dana Rp. 73.869.131.760 ini; 

■Untuk biaya Penghasilan Tetap/ SILTAP :

▪per- KADES/ bulan sebesar  Rp.2.500.000

▪per SEKRETARIS/ bulan sebesar Rp.2.224.420.-

▪per PERANGKAT lainnya termasuk Kepala Dusun/bulan sebesar Rp. 2. 022. 200.-

■Untuk biaya Tunjangan BPD :

▪Ketua  Rp.  750. 000.-

▪Wakil ketua Rp. 600. 000.-    

▪Sekretaris   Rp.  500. 000.-

▪Anggota      Rp.  400. 000.-

Artinya,  dalam tahun anggaran 2020, Alokasi Dana Desa yang digelontorkan dari DAU Kabupaten Flores Timur  untuk membayar Penghasilan Tetap dan Tunjangan BPD di 229 Desa sebesar Rp. Rp.73.869.131.760        ( Tujuh puluh tiga Miliar delapan ratus enam puluh sembilan juta seratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus enam puluh Rupiah). Dari Nominal yang ada, jika dibagi rata ke 229 desa maka masing-masing desa mendapat kurang lebih Rp. 322.572.628.-

Selain untuk biaya SILTAP dan Tunjangan BPD, dalam akumulasi Alokasi Dana Desa dimaksud pula terdapat Rp.2.789.797.695.-  untuk biaya Operasional Kepala desa/Perangkat dan BPD. 

Dari Total Rp.2.789.797.695.- jika dibagi rata untuk 229 desa maka masing –masing desa akan memperoleh biaya operasional sebesar Rp. 12.182.523.- (dua belas juta seratus delapan puluh dua ribu lima ratus dua puluh tiga rupiah)

            III. BAGI HASIL PAJAK/BPH

Sumber Pendapatan desa yang satu ini berasal dari perhitungan secara akumulatif seluruh pendapatan daerah dalam bentuk Pajak dan Retribusi untuk kemudian diperhitungan dengan rumus pembagian yang hasilnya  dibagikan untuk setiap desa secara bervariasi mulai dari paling rendah       Rp. 4.000.000,an sampai paling tinggi Rp. 8.000.000.- (khusus untuk total pendapatan daerah dalam bentuk pajak, penulis belum menemukan datanya).

Dari tiga sumber pendapatan desa dengan total alokasinya masing –masing sebagaimana diuraikan di atas, dapat diakumulasi untuk mengetahui berapa banyak Dana yang dikucurkan untuk masing-masing desa se-Kabupaten Flores timur dalam Tahun Anggaran 2020 ini adalah sebesar : Rp.1.038.755.151.- ( satu miliar tiga puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh lima ribu seratus lima puluh satu Rupiah). Angka ini merupakan hasil perhitungan dengan mengambil nilai terendah dari pagu indikatif masing-masing sumber pendapatan pada 229 desa.

      IV. KENDALA PEMBANGUNAN DESA

Dengan tidak bermaksud menggeneralisir semua desa dalam wilayah Kabupaten Flores Timur, dalam catatan ringan ini sengaja  mengungkapkan sejumlah trend masalah yang menjadi pemicu lahirnya kendala yang dihadapi di desa dalam melaksanakan pembangunan. Jika melukis sudut pandang dari aspek fasilitas berupa ketersediaan DANA, tentu saja hal ini bukan menjadi pemicu sebab dari data mengalirnya dana ke rekening kas desa, secara rasional dapat diyakini bahwa hal membangun desa dengan dana yang bukan sedikit adalah sesuatu yang sangat mudah. Tetapi mengapa selalu ada kecenderungan dalam hal : 1) lamban menyelenggarakan tahapan-tahapan sebagaimana yang wajib dilaksanakan dalam prosedur perencanaan tahunan,  

2) lemahnya inovasi dalam merumuskan konsep pembangunan,   

3) Ngawurnya formula dokumen perencanaan dan 

4) lemahnya tata kelola keuangan dalam kaitan dengan dokumen pelaporan realisasi anggaran ????

Setidaknya ada beberapa trend masalah yang dapat dipandang sebagai kendala dalam hal ini yakni ;

▪Kurang dan/atau tidak harmonisnya komunikasi kerja antara Kepala Desa dan BPD.

▪Kurang dan/atau tidak bersinergi dan/atau  atau hubungan kerjasama yang kurang produktif antara Kepala desa dengan Perangkat.

▪Minimnya kemampuan/pengetahuan Kepala Desa dan/atau perangkat dalam memahami dan melaksanakan Tupoksi. 

▪Minimnya kemampuan/Pengetahuan BPD dalam memahami dan melaksanakan Tupoksi. 

▪Minimnya pengawasan partisipatif oleh masyarakat atas kinerja Kepala desa/Perangkat dan BPD.

■ Bahwa benar trend masalah yang dikedepankan di atas tidak sedang terjadi di 229 desa, namun apabila tidak disangkali maka dari jumlah desa yang ada, ada desa yang tentu saja harus mengakui bahwa hal-hal di atas yang menjadi pemicu sekaligus sebagai kendala dalam berinovasi membangun desa secara cepat dan tepat.

■ Bahwa benar trend masalah yang dikedepankan di atas tidak secara komulatif terjadi di setiap desa, namun jika tidak dipungkiri maka ada desa yang tentu saja mengakui bahwa secara alternatif hal-hal di atas ada yang cukup berpotensi dan berpengaruh secara negatip bagi penyelenggaraan pemerintahan serta perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa.

         V. REKOMENDASI

■Dengan merujuk pada keseluruhan narasi di atas, maka catatan ringan ini mencoba merumuskan beberapa pemikiran rekomendatif sebagai berikut :

▪Dibutuhkan alokasi anggaran pada setiap desa melalui APBDes untuk kepentingan Program dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan desa dalam hal ini Kepala Desa bersama Perangkat dan Badan Permusyawaratan Desa. Program/Kegiatan dengan Nonenklatur Peningkatan Kapasitas ini akan terlaksana dengan muatan materi : 1). Memahami  Manajemen dan Tata Kelola Pemerintahan Desa , 2). Memahami SISKEUDES dengan Aplikasinya, dan yang ke 3). Memahami teknik Pembentukan Produk Hukum Desa.

▪Perlu adanya pendampingan melalui pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring secara baik dan benar oleh pemerintah tingkat kecamatan. Pelaksanaan fungsi oleh pemerintah kecamatan dimaksud harus diagendakan secara baik dan benar dengan memperhatikan progres kegiatan desa dan sejumlah agenda pelaksanaan kegiatan pemerintahan lainnya di desa.

▪Perlu adanya RAKOR secara berkala antara Bupati, Dinas PMD dan Para Camat termasuk Tenaga Ahli Pendamping Desa Tk Kabupaten untuk membahas dan mendiskusikan dinamika penyelenggaran pemerintahan dan pengelolaan pembangunan di desa sekaligus melakukan mapping konsep untuk kepentingan pendampingan desa.

▪Jika memungkinkan, dibuka semacam Sekolah Desa dengan Kelas Paralel Larantuka, Solor dan adonara. Sekola Desa dimaksud terselenggara dengan biaya dari APBDes dengan sistim konsering anggaran dari masing-masing desa. Anggaran dimaksud diperuntukan bagi biaya penyelenggaraan Sekolah Desa termasuk honor Pengajar/Nara sumber dari pihak yang berkompoten dalam hal ini. Kegiatan Sekolah Desa dijadwalkan untuk tatap muka dua kali dalam sebulan. Tujuan dan Sasaran dari penyelenggaraan Sekolah Desa  adalah untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Desa dan BPD agar mampu berinovasi dalam pelaksanaan tugas. 

■Untuk sementara, catatan ringan ini berakhir di sini,- Saya menulis,- Anda membaca dan memutuskan. Jika ini bukan Potret mu, ABAIKAN !!!

Salam Berdesa !!!***

ROFIN KOPONG

Jumat, 11 September 2020

MUNGKIN BAIK

Jika manajemen pada  Instansi Publik semacam Dinas Kesehatan  dan RSU mesti lebih cermat dalam hal mengambil kebijakan mutasi pegawai, apakah itu bertujuan untuk kepentingan Promosi dan/atau penyegaran. Apalagi termotivasi oleh  kepentingan privat oknum tertentu dalam lingkaran Manajemen.

MENGAPA MESTI LEBIH CERMAT?

Sebab hal mutasi pegawai pada instansi semacam yang disebutkan sangat berimplikasi   pada resiko yang harus diderita secara langsung; baik oleh Pelaku Profesi itu sendiri maupun oleh Pasien yang dilayani.

APA YANG HARUS CERMAT?

1. Batasan aturan Hukum yang memayungi ruang lingkup Manajemen dan karya Profetif.

2. Ketepatan kapasitas Pelaku Profesi baik dari aspek kesehatan personal maupun dari aspek disiplin ilmu yang dimiliki.

3. Eksekusi Kewenangan baik secara Prosedural maupun substansial.

4. Kesadaran kuat bahwa instansi yang dipimpin adalah instansi publik,- BUKAN instansi Prifat. Sebab itu JANGAN PERNAH bertindak atas nama KEWENANGAN untuk sebuah kepentingan terselubung.

SEBAB; segala  hal yang terjadi dalam sebuah Instansi Publik,- yang dilakukan oleh seorang Pejabat Publik, ceritanya tentu saja panjang.

5. Cermat dalam "membaca" usul dan saran yang bersifat rekomendatif dari bawahan sebelum berkeputusan. 

JIKA SUDAH MENCERMATI SEMUA DENGAN BAIK maka :

Beranilah untuk MELAHIRKAN KEPUTUSAN termasuk pula BERANI MENINJAU KEMBALI Keputusan yang telah diambil. Sebab tak ada seorang Pemimpin yang tidak memiliki Akal dan budi Kecuali ada tapi Dungu.***

ASAL BISA IKUT OMONG

Caption tulisan ngawur ini diberi nama Asal Bisa Ikut Omong karena saya memang asal bisa ikut OMONG . - Harap tak ada seorangpun tidak salah meng-arti-kannya.

Kali ini Saya mau ikut OMONG Tentang Kerja Sama antara Bupati Flores Timur yang bertindak atas nama Pemda Flotim dengan sejumlah pihak antara lain LPK Darma.

Saya mau omong (kosong) begini;

1. JIKA Kerja Sama ini memiliki substansi Perikatan Perdata, mengapa hingga saat ini Para Pihak yang menandatangani Perjanjian, tidak ada satu pun yang angkat bicara?

HANYA terbaca ada Pernyataan Bupati yang dalam konteks Perjanjian dimaksud adalah memang sebagai  Pihak Pertama tetapi Pernyataan itu BUKAN dalam Kerangka Kerja Sama bersama Para Pihak Lainnya.

2. JIKA memang Perjanjian dimaksud merupakan Perikatan Perdata, mengapa yang bersemangat bicara adalah orang- orang yang tidak termasuk dalam Para Pihak Perjanjian Kerja Sama? 

3. JIKA saya ikut omong Karena Perjanjian Kerja Sama itu dilakukan oleh Bupati Flores Timur, apakah saya sudah paham bahwa formula dalam dokumen Kerja Sama itu menyatakan bahwa Bupati bertindak atas nama Pemerintah Daerah? Apa artinya Pemerintah Daerah?

KALAU berargumentasi soal implikasi dari diksi  Pemerintah Daerah, ya tentu saja ada mekanisme dan Prosedur  Pertanggung jawaban.

4. KETIKA Bupati mengakui adanya Kelemahan dalam naskah Perjanjian, ya bukan berarti bahwa kelemahan itu dijawab dengan Keputusan  Pemulangan peserta Magang atau apa istilahnya.

Saya pikir, hal pemulangan peserta dengan menganggap tidak ada Perjanjian Kerja Sama sebagai alas hukum peristiwa perginya peserta justru akan menimbulkan masalah baru.

KARENA ITU, mendesak Bupati untuk segera memfasilitasi pemulangan peserta adalah JEBAKAN Politis untuk MELAHIRKAN hukuman sosial bagi kepemimpinan Politik sekarang.

5. UNTUK mengadvokasi ancaman hukuman sosial ini, baiknya jangan gamang mengambil langkah dalam mengatasi masalah ini.

Saya pikir, 

▪ Baik Kalau Bupati membentuk Tim untuk melakukan Negosiasi dengan Para Pihak sebagaimana terbaca dalam dokumen kontrak.

▪ Negosiasi itu mengarah pada kompromi untuk meletakan beban soal ini secara berimbang pada punggung masing -masing Pihak. Ya, tentu saja terkait hak dan kewajiban sebagaimana formula kerja sama.

▪ Dengan negosiasi ini, dilahirkan semacam Perubahan Perjanjian Kerja Sama. - Dirumuskan Perubahan Naskah  Kerja Samanya yang tentu saja sudah dibicarakan dalam negosiasi itu.

▪ Dengan dasar inilah, langkah konkrit seperti (salah satunya) Pemulangan Peserta boleh dilakukan.

▪ DENGAN begitu, saya pikir persoalan dengan Para Pihak menjadi terselesaikan dan boleh menjadi langkah antisipatif jika dikemudian hari ada pihak dalam Perjanjian merasah dirugikan dan mendefinisikan sikap Pemda sebagai bentuk Wanprestasi.

6. TERKAIT semacam ancaman Hukum Pidana, karena ada konsep yang dibangun merayap sampai ke Human traficking, saya pikir Bupati tidak usah cemaslah. 

Dalam dunia hukum, hal menduga itu sesuatu yang wajar tetapi hal mempertanggungjawabkan pula bukan hal yang tabu.

KALAU ada Pengacara Kondang yang angkat bicara soal ini dengan argumentasi yang tidak menguntungkan posisi Bupati, saya pikir hal biasa. Dan saya juga Pikir kalau saja Bupati meminta yang bersangkutan untuk menjadi Pengacaranya Bupati dalam hal ini, dan seandainya saja dia mau, tentu saja formula argumentasinya akan berubah dan menjadi lain. Sebab rqta-rata Pengacara  memiliki naluri          "membunuh" dan membela. Tergantung pada posisi mana dia berdiri.

Demikian omong kosong saya.

Minggu, 19 Juli 2020

𝖯𝖴𝖨𝖲𝖨 π–ͺ𝖴

𝐾𝐸𝑀𝐡𝐴𝐿𝐼 𝐾𝐸 𝐾𝑂𝑇𝐴
π‘ˆπ‘›π‘‘π‘’π‘˜ π‘ π‘’π‘π‘’π‘Žβ„Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘’π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘’π‘™π‘’π‘š π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘˜β„Žπ‘–π‘Ÿ
π΅π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘› π‘‘π‘Žπ‘› π‘ π‘Žπ‘π‘Žπ‘Ÿ π‘šπ‘’π‘›π‘—π‘Žπ‘‘π‘– π‘˜π‘’π‘™π‘– π‘‘π‘’π‘šπ‘– π‘€π‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ π‘‘π‘Žπ‘› π‘π‘–π‘‘π‘Ž π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘’π‘™π‘’π‘š π‘‘π‘–π‘π‘Ž.

πΏπ‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘‘π‘’π‘˜π‘Ž....
πΎπ‘œπ‘‘π‘Ž π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘–π‘™ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘π‘’π‘Ÿπ‘›π‘Žβ„Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘’π‘ π‘‘π‘Ž

π‘†π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘–....
π‘‡π‘Žπ‘›π‘Ž π‘ π‘’π‘šπ‘π‘–π‘‘ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘π‘’π‘›π‘’β„Ž π‘‘π‘œπ‘Ž

π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘—π‘Žπ‘”π‘Ž π‘π‘Žπ‘”π‘– π‘˜π‘’π‘‘π‘–π‘˜π‘Ž π‘π‘Žπ‘›π‘”π‘”π‘–π‘™π‘Žπ‘› π‘ π‘’π‘π‘’β„Ž π‘˜π‘Žπ‘’π‘š π‘šπ‘’π‘ π‘™π‘–π‘š
π·π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘‘π‘–π‘Žπ‘š π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘™π‘–π‘Ÿ π‘‘π‘œπ‘Ž π‘›π‘Žπ‘ π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘– π‘π‘Žπ‘‘π‘Ž πΎπ‘Žπ‘π‘’π‘™π‘Ž.

π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘ π‘’π‘›π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘ π‘–π‘Žπ‘›π‘” π‘˜π‘’π‘‘π‘–π‘˜π‘Ž 𝑏𝑒𝑛𝑦𝑖 π‘™π‘œπ‘›π‘π‘’π‘›π‘” π‘”π‘’π‘Ÿπ‘’π‘—π‘Ž
π·π‘œπ‘Ž 𝐴𝑛𝑗𝑒𝑙𝑒𝑠 𝑝𝑒𝑛 π‘šπ‘’π‘šπ‘Žπ‘›π‘—π‘Žπ‘‘ π‘™π‘Žπ‘›π‘”π‘–π‘‘

π·π‘Žπ‘›....
πΎπ‘’π‘‘π‘–π‘˜π‘Ž π‘ π‘’π‘›π‘—π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘™π‘Žπ‘™π‘’.. 

π‘€π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘™π‘–π‘Ÿ π‘™π‘Žπ‘”π‘– π‘‘π‘œπ‘Ž π‘šπ‘Žπ‘™π‘Žπ‘–π‘˜π‘Žπ‘‘
π‘ƒπ‘Žπ‘‘π‘Ž 𝑠𝑒𝑑𝑒𝑑 𝑠𝑒𝑗𝑒𝑑 π‘›π‘Žπ‘› π‘ π‘Žπ‘˜π‘Ÿπ‘Žπ‘™ π‘˜π‘Žπ‘’π‘š π‘ π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘–
𝑑𝑖 π‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘Ÿ π‘Žπ‘›π‘”π‘–π‘› π‘˜π‘’β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘π‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘›π‘’π‘—π‘’ π‘™π‘Žπ‘›π‘”π‘–π‘‘
π‘π‘’π‘Ÿπ‘ π‘Žπ‘šπ‘Ž π‘”π‘’π‘šπ‘Ž π΄π‘§π‘Žπ‘› π‘šπ‘Žπ‘”π‘Ÿπ‘–π‘.

πΏπ‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘‘π‘’π‘˜π‘Ž....
πΎπ‘œπ‘‘π‘Ž π‘˜π‘’π‘‘π‘’π‘ 
π΅π‘’π‘šπ‘– π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘’ π‘˜π‘’

𝐾𝑒 π‘˜π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘™π‘–
π‘‘π‘’π‘˜ π‘π‘’π‘Ÿπ‘˜π‘Žπ‘–π‘  π‘šπ‘’π‘›π‘–π‘‘π‘–β„Ž π‘π‘’π‘™π‘’β„Ž 
π·π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘˜π‘’π‘π‘–π‘ π‘–π‘›π‘”π‘Žπ‘› π‘‘π‘œπ‘Ž
π·π‘Žπ‘› π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘–π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘› π‘π‘’π‘›π‘’β„Ž π‘‘π‘’π‘”π‘Ž

π‘‚π‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”-π‘œπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘”  π‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘”π‘Žπ‘šπ‘Ž....

𝖲𝖠𝖱𝖠𝖭 𝖯𝖨π–ͺ𝖨𝖱𝖠𝖭

MESKI CAMAT BUKANLAH KEPALA WILAYAH, 
Toh, BUPATI seharusnya mengangkat CAMAT yang cerdas. 

SELAIN memahami karakter wilayah dan masyarakat, diperlukan pula CAMAT yang paham aturan hukum yang berhubungan dengan Pemerintahan Desa. Ia memiliki kemampuan memimpin pula.

Dengan begitu, meski masyarakat memilih seorang KADES yang kemampuannya "Harap maklum", Toh disana ada CAMAT yang bisa diharapkan untuk membantu mengarahkan, melakukan Pendampingan dan mencerahkan ke-samar-an berpikir dan bertindak dalam jabatan.

SEBAB ITU, untuk memastikan progres perkembangan ber- pemerintahan di wilayah dan desa, MUNGKIN BAIK kalau kinerja kerja seorang CAMAT harus dievaluasi dalam setiap enam bulan sekali.

SETIDAKNYA cara ini dapat menolong capaian Visi dan Misi Kepemimpinan Politik.***

Rabu, 15 Juli 2020

DEMO,- OH DEMONSTRASI ;

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
Di Muka Umum..

Di muka umum, Orang merasah MERDEKA,- bebas,- tanpa tekanan dalam menyampaikan pendapat.

Pada konteks ini, lazimnya terlihat dalam sebuah gerakan. Lazimnya pula gerakan ini tidak terjadi dengan sendirinya tapi digerakan.

Ada gerakan interaksi gagasan, ada gerakan konsolidasi ide, ada gerakan ajakan, ada gerakan patungan dana, ada gerakan meminta dukungan dana dari orang-orang tertentu dan mungkin saja ada pergerakan lainnya.
GERAKAN2 INI sangat lazim terjadi sebelum Hari -H

Mana kala segala pergerakan di atas sudah cukup memberikan jaminan untuk memasuki Hari -H, maka di Hari-H itu orang mulai menyatakan kemerdekaannya untuk menyampaikan Pendapat tentang sesuatu hal baik dalam bentuk Orasi mau pun dalam bentuk dialogis.

Di sejumlah kota besar, gerakan semacam ini sangat sering terjadi. Kejadian itu tidak hanya menjadikan lembaga dan pejabat publik sebagai sasaran tujuan melainkan pula terhadap Manajemen  perusahan swasta  atau lembaga- lembaga non publik.

TETAPI, di daerah ini, Tentu saja Lembaga Publik (Pemerintah Daerah dan DPRD) yang lebih sering menjadi sasaran Para Demonstran.

Ada fenomena yang menarik adalah ketika para demonstran berorasi  dan diikuti oleh orang2 tertentu tapi mengambil jarak seakan tidak terlibat tetapi hadir sebagai Penonton.

Ada lagi yang menarik adalah ketika menuntut sesuatu yang dinilai salah alamat.

Lain lagi yang tak kalah menariknya adalah ketika letupan orasi meneriakan kecaman dengan alasan  sekenanya dan terbaca pada poster ada tulisan yang mengabaikan Praduga tak bersalah.

DAN yang paling menarik adalah kelompok demonstran itu berhadapan dengan para mantan demonstran. Mantan demonstran ini adalah orang- orang yang sedang dalam jabatan Publik. 
DALAM INGATAN SAYA,
Bupati, Wakil Bupati dan Pimpinan DPRD adalah jabatan yang sedang diemban oleh orang2 yang saya namakan Mantan Demonstran.

Artinya, bagi para pejabat ini, hal demonstrasi bukanlah sesuatu yang luar biasa !!!
 

TENTU SAJA, demonstrasi  semacam ini adalah sebuah gerakan Positip sepanjang semua pihak bersepakat untuk melihatnya secara positip.
Gerakan semacam ini adalah ejakulasi harapan akan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Gerakan ini pula menjadi bentuk kontrol sosial bagi kalangan penyelenggara pemerintahan.

Kita semua mesti memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi langit.

Sambil berharap agar gerakan semacam ini boleh terjadi pada setiap minggu bahkan bila perlu setiap hari agar Penyelenggara Pemerintahan ini terus diingatkan.- Asal para demonstran selalu berenergi dan Para donatur juga tetap kuat. Sebab bukan tidak mungkin, Perihal Berdemonstrasi Bukanlah sebuah gerakan tanpa DANA.

YANG PENTING:
■ Jangan lupa pemberitahuan ke Polri untuk dapatkan ijin aksi;
■ Tetap taat pada Peraturan Perundang-undangan;
■ Junjung tinggi Praduga Tak Bersalah.

salam.

Sabtu, 04 Juli 2020

MERESPON "PENCARIAN" ade bos Bambang Wato Wutun.

Pagi ini nan indah. Bangun tidur, enak tarik badan, sesekali menguap nikmat sambil iseng buka Facebook.
TANPA kaget, saya menemukan TS ade bos Bambang Wato Wutun yang menandai saya. Saya tertarik untuk membaca dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

SEHARUSNYA setelah membaca, bergegaslah saya untuk siap diri beribadah. Tapi kemudian saya berpikir bahwa untuk melakukan hal yang satu ini ( menulis respon) adalah sebuah kerja pewartaan kebaikan yang pula merupakan bagian dari IBADAH itu sendiri. Karena itu saya beribadah saja dengan  menulis respon atas TS di bawah ini;

Maaf, saya harus coppy paste TS dimaksud untuk memudahkan saya menulis respon;

TS Bambang Wato Wutun:

"Menarik Untuk Mencernah Secara Jernih Narasi Yang di Tuangkan Oleh Abang Bos Rofinkopong Dalam Blog pribadinya Dengan Judul "HONOR FORKOMPINDA FLOTIM DAN OPINI PENGAMAT LOKAL".

Hal Yang sungguh menjadi Fokus Perhatian adalah Perubahan Perbup 25 Tahn 2019 Menjadi Perbup 64 Tahun 2019 Tentang Standar Biaya Umum (SBU). Perubahan Perbup Ini sekaligus Merubah Angkah Keramat 1,6 M Menjadi 3M. Angkah Ini Dalam Narasinya Kabid Pemerintah Desa merupakan Angkah Gelondongan, tidak Terperinci Perbulan Perorang. Dasar Pertimbangannya ada Pada Konsiderans Menimbang Perbup Tersebut.

Karena Tidak Terperinci Maka Timbul Pertanyaan Dari Mana Angkah Rp 20 Juta Perbulan di Potong Pajak Untuk Setiap Anggota Forkompinda sebagaimana di Terimah Oleh Kajati Larantuka..??
Dalam Pandangan Abang Bos Rofin Kopong, anggaran itu di Pangkukan Dalam Program Dan Kegiatan dalam Perda Apbd. Terperincikan  dalam belanja Pengawai (DPA) pada OPD Yang Bersangkutan berdasarkan Perbup tentang Penjabaran APBD.

Pandangan Yang Berbeda Tentang Honor Forkompinda Di Sampaikan Oleh Mantan Anggota DPRD Flotim 1999-2009 Nana Bachtiar Lamawuran. Perbup 64 Tahun 2019 adalah bentuk Kongkrit Bupati Flotim Dalam Tindakan Hukum Administrasi Pemerintahan Yang Sewenang wenang. 
Honor Forkompinda Bagi Nana Bachtiar Tanpa Pagu, Tanpa Kontruksi Jenis Kegiatan, Uraian Jenis Kegiatan, Belanja Pengawai (DPA) sehingga Patut di Duga ada Tindakan Korupsi..

Terhadap Dua Pandangan Yang Berbeda Ini Maka Perlu ada Kontruksi Berpikir Yang Kontsruktif Untuk Memahami Logika APBD.
Di butuhkan Penguasaan Regulasi Yang Menjadi Dasar Hukum Pertimbangan serta Norma dan Kaidah Penyusunan APBD sehingga Kita Tidak Sampai Pada Kesimpulan Yang Prematur tanpa Memahami Substansi Persoalan Secara Komprehensif.

Semoga ada Pengamat Hukum dan Pengamat Kebijakan Publik yang adalah anak Lewotanah Flotim dapat memberikan pencerahan Hukum Tata Negara dan Pencerahan Kebijakan Publik agar ada Nuansa Intelektual Yang menjadi Asupan Gizi bagi khalayak dalam mencermati Persoalan Yang Sangat Seksi Dan Fenomenal dari Maklhuk Yang Bernama Honor Forkompinda..

RESPON :

1. APA yang saya tulis dalam blog pribadi itu TIDAK dalam konteks membenarkan atau menyalahkan siapa-siapa terkait pandangannya berkenaan dengan RIWAYAT lahirnya Honor Forkopimda yang bagi saya, itu hal sepeleh dan/atau tidak seksi.🀣

TULISAN saya dimaksud berangkat dari APA yang saya tahu dan saya pahami tentang RIWAYAT berprosesnya Penetapan APBD Tahun 2020 dengan implikasinya yang didalamnya Ter -include anggaran untuk pembiayaan Honor Forkopimda. (Bisa dibaca kembali tulisan itu).

BOLEH JADI, pengetahuan saya atas Proses itu tidak sempurna dan pemahaman saya tidak mendalam pula.

" barang siapa yang lebih mengetahui dan memahami hal ini, silahkan merumuskan pengetahuan dan pemahamannya"
Itu aja kok repot, 🀣🀣🀣🀣🀣

2. Setiap Produk Hukum entah itu UU atau Peraturan Kepala Desa sekalipun, tentu saja memiliki alasan mengapa ditetapkan.
Demikian pula halnya Perbup Nomor 64 Tahun 2019.
KALAU ditanya, alasan atau pertimbangan apa menetapkan Perbup 64 Tahun 2019 untuk merubah Perbup Nomor 25 Tahun 2019 ?,
Ya, jawabannya tentu tertuang dalam Konsiderans Menimbang pada Naskah Perbup itu sendiri.😁

3. PADA bagian kedua TS ade bos Bambang Wato Wutun, yang menarasikan kembali formula yang bersentuhan dengan " Angka Gelondongan ", saya perlu meluruskan seperti ini :
▪Kalimat yang tertulis dalam kurung, tidak lengkap terbaca karena ada kekeliruan teknis pengetikan dan pengeditan. Artinya masih ada kalimat lanjutan yang terhapus sebelum dipublikasikan.
▪Kalimat lanjutannya adalah "dalam formula APBD"
Lihat rumusannya pada blog yang memang belum ditutup dengan tanda Tutup Kurung.
▪Jadi, kalimat lengkapnya adalah ( Angka ini ditetapkan secara Gelondongan tanpa merinci; per/orang per/bulan dalam Formula APBD.
▪Penting diklarifikasi karena memang pada Perbup Nomor 64 Tahun 2019 digambarkan secara rinci uraian biayanya.
Begitu pula pada Perbup Penjabaran APBDnya.

■ Tks adik Bambang, sudah membuat saya teringat dan akan mengedit kembali tulisan pada Blog untuk penyempurnaan pengetikannya. πŸ™πŸ€

4. Saya pikir bahwa PANDANGAN  yang berBEDA dari seseorang yang ade sebutkan namanya dengan uraian pandangannya  pada TS itu tidak memiliki relevansi apa-apa sebab konten tulisan saya TIDAK sedang meng- argumentasi -kan Perihal KEWENANGAN Bupati dalam menetapkan Perbup Nomor 64 Tahun 2019.

Oleh sebab itu, men- taut- kan pandangan dimaksud dengan tulisan saya agar dapat menemukan konstruksi berpikir yang konstruktif untuk memahami logika APBD adalah bagai menyambung sebatang bambu hias (tentu kecil ukurannya) dengan pipa berukuran 10 Dim.πŸ˜€πŸ€£πŸ€£πŸ€£
Tentu tidak akan bertautan dan tersambung dengan baik.

MENGAPA?
Karena masing-masing melukiskan pandangan dari pojok sasaran yang berbeda.
Satunya menguraikan riwayat sedangkan yang lainnya melihat kewenangan yang dihubungkan dengan postur Perbup Nomor 64 Tahun 2019.
BAGI saya, Pola Pandang itu harus berdiri sendiri dan TIDAK BOLEH dihubung-hubungkan dengan tulisan saya.πŸ€£πŸ€£πŸ€£πŸ€£πŸ€£πŸ™

Bahwa kemudian ada orang yang berpendapat lain dan/atau membangun pemahaman secara berbeda tentang apa yang saya tulis, YAH, SILAHKAN SAJA !!!
Saya TIDAK URUS !!!

TOH, pandangan siapa saja termasuk saya TIDAK ada efeknya dan tidak Patut menjadi Legal Opinion yang kemudian berpengaruh pada sebuah VONIS benar atau salah.

5. TERKAIT "tuntutan" Uraian belanja, Program, Kegiatan,  di mana anggaran itu di pangkuan, lalu bagaimana hitungnya sampai Kajari Larantuka dibayar Rp.20 juta sebagaimana disbutkan dalam TS itu, mungkin dengan maksud mencapai target  akuntabilitas terkait Output dan outcome, bagi saya ini hal teknis dan saya tidak ingin terlibat dalam urusan ini.

TAPI saya masih yakin, Pemda Flotim TIDAK BODOK dalam hal ini.
Sangat tidak mungkin Anggaran begitu besar yang digelontorkan, TIDAK dipangkukan sebelumnya dalam sebuah Program dan Kegiatan serta runutannya.

MARI "MENDEKO" pada Perbup Penjabaran APBD, DPA Sekretariat Daerah Kabupaten Flores Timur khusus pada Bagian Pemerintahan umum. - Saya yakin akan diketemukan jawabannya di sana.

Sekali lagi, ini soal teknis.-

Saya tidak berminat !!!

Kedurep-wero kopi ki ade bos... ***
Lebih santai Lebih Ganteng !!!


Jumat, 03 Juli 2020

HONOR FORKOPIMDA FLOTIM DAN OPINI PENGAMAT LOKAL

JAWABANNYA tentu sudah diketahui siapakah yang dimaksud dengan Pengamat Lokal. Secara personal, saya tidak ingin menyebut by name dan by address sebab saya tidak ingin "berperkara" dalam hal yang sepeleh ini. 

KENDATIPUN tidak ingin "berperkara" dengan siapa saja yang saya maksudkan sebagai Pengamat Lokal, toh saya tetap  ingin terlibat dalam mendirikan opini saya melalui tulisan sederhana ini, bukan untuk menyodorkan perbandingan tetapi semata- mata untuk sekedar melukiskan pandangan saya atas opini yang sedang menggeliat, menguat dan tentu saja telah merasuk masuk dalam pikiran siapa saja yang membaca dan/atau mendengar tentang pandangan-pandangan  yang  berkarakter interogatif, bermuatan  "dugaan buruk"  (baca ;Tawen Daten), dan atau sejenisnya yang kemudian mengarah pada sentilan-sentilan "tuduhan" bahwa semacam telah terjadi rekayasa spekulatif yang diperankan oleh oknum pejabat di lingkungan Legislatif dan eksekutif untuk memperkaya diri.

SEBELUM mendirikan opini ini, saya sudah meluangkan waktu untuk:
▪ Membaca secara berulang formula TS dari beberapa Netisen Facebook ( baik pada Grup maupun laman akun FB saya;
▪ Menghubungkan aksentuasi formula TS dimaksud dengan mekanisme dan proses pra pengajuan Rancangan Perda APBD oleh Pemerintah, Proses Pembahasan Rancangan Perda  APBD dan Pasca Pembahasan Rancangan Perda  APBD;
▪ Mencermati dinamika dan efeknya pasca Rapat Dengar Pendapat oleh DPRD Flotim dengan PMKRI Larantuka;
▪ NGOPI dengan sejumlah pihak yang saya anggap paham dengan "soal ini".
▪ Membaca dan terus membaca sejumlah literatur yang saya anggap cukup relevan dengan "persoalan" Honor Forkopimda di daerah ini.

ALHASIL, Waktu yang telah terluang tak sia-sia.  Ibarat melepas panah dari busurnya, anak panah itu menancap gagah di kedalaman sasaran. Saya kemudian yakin dan memulai membangun opini ini, meletakan di Blog ini sebagai arsip untuk boleh dibaca siapa saja, kapan saja ia mau.

■ Opini Pengamat:
Dalam era demokrasi dan transparansi, setiap siapa saja BERHAK untuk berpendapat tentang Sebuah Kebijakan Publik. Termasuk kebijakan anggaran yang tertuang dalam sejumlah  regulasi baik Peraturan Bupati maupun Peraturan Daerah tentang APBD sebagai dasar untuk dieksekusinya sejumlah anggaran daerah.
TENTU saja, pendapat dimaksud terungkap dari keyakinannya bahwa ada yang tidak beres dari berprosesnya  mekanisme kebijakan itu. 

KITA semua patut menghormati  dan boleh secara diam-diam mengukur kedalaman pengetahuan dan keyakinannya dari apa yang ia lukiskan. 
Setiap kita berhak menilai seperti ia telah menggunakan haknya untuk melakukan penilaian. DAN setiap kita boleh berpendapat terhadap obyek yang sama secara berbeda seperti ia telah berpendapat atas obyek itu.

"MARI kita berpendapat secara enteng tanpa takut dinilai sebagai;( apa, siapa, untuk dan bermaksud apa)".
"Mari kita berani MENGEJAKULASI pikiran kita secara nikmat untuk menemukan kebahagiaan batin ketika ada yang MENJADI melek karena opini yang kita bentuk sebagai Gen yang tumbuh menjadi sosok bernama SADAR".

■ Honor Forkopimda dan Peraturan Bupati:
¤ DISINYALIR semacam ada spekulasi tidak sehat ? 
¤ PERBUP SBU  berubah begitu cepat ?
¤ ADA kesan tidak ada pembahasan oleh DPRD?

MARI kita mengurai benang kusut ini untuk menenun pemahaman kita;

▪Peraturan Bupati tentang SBU:
Dari dokumen yang terbaca, BENAR bahwa ada peristiwa Perubahan Perbup Tentang Standar Biaya Umum.
Perubahan Perbup dimaksud adalah Perbup  Nomor 25 Tahun 2019 menjadi Perbup Nomor 64 Tahun 2019. Perbup Perubahan ini ditetapkan pada tanggal 21 Oktober 2019. 
Salah satu item anggaran yang diubah selain Penghasilan Tetap/ SILTAP Kepala Desa dan Perangkat serta lain-lain  adalah HONOR FORKOPIMDA.
Khusus Honor Forkopimda; dalam Perbup Nomor 25 Tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp.1,6 M. Dan kemudian mengalami Perubahan dalam Perbup Nomor 64 Tahun 2019 menjadi Rp.3 M. (Angka ini ditetapkan secara Gelondongan tanpa merinci per/ orang  per/ bulan.

INGAT, Perbup Perubahan ini ditetapkan SEBELUM Pengajuan KUA - PPAS / Kebijakan Umum Anggaran dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara.

▪KUA-PPAS:
Dokumen KUA - PPAS ini memuat materi tentang gambaran umum kebijakan anggaran oleh Pemerintah Daerah dalam tahun anggaran 2020 yang kemudian di-breakdown ke dalam Rancangan APBD Tahun Anggaran 2020.

INGAT pula bahwa KUA - PPAS ini dibahas dalam agenda kerja Badan Anggaran / BANGGAR DPRD (sebagai representasi lembaga) BERSAMA Tim Anggaran Pemerintah Daerah/ TAPD sebelum Pengajuan Rancangan APBD.

INI artinya apa ?
Artinya dalam Hal pelaksanaan Fungsi Budget/ Anggaran ( BUKAN HAK ANGGARAN lho ya), DPRD secara kelembagaan sudah mengetahui dan menyetujui KEBIJAKAN ANGGARAN dimaksud termasuk ANGGARAN untuk HONOR FORKOPIMDA untuk kemudian disusun lebih lanjut dalam Dokumen Rancangan APBD dan akan dibahas lebih lanjut menuju Persetujuan Bersama menjadi APBD.
Dalam hal Pembahasan ini, BANGGAR adalah DPRD. - Tidak boleh dipungkiri !!!

SEBAB ITU, jika dalam hal polemik ini ada oknum ADPRD mengambil sikap seolah di luar Keputusan Lembaga; maka secara etika Politik, hal ini sangat relatif untuk dinilai tetap secara Etika Hukum, hal ini tidak Patut dibenarkan.

▪Rancangan APBD Tahun 2020:
Pasca Pembahasan dan Persetujuan KUA - PPAS, Pemerintahan Daerah menyusun dan mengajukan Rancangan APBD. 

DALAM hal menyusun Rrancangan Perbup APBD, salah satu instrumen hukum yang harus diperhatikan adalah Perbup Nomor 64 Tahun 2019 tentang SBU sebagai  acuan dalam pemangkuan anggaran untuk masing- masing Program dan Kegiatan.

APA yang telah terjadi di sana? 
TERNYATA ada KEKELIRUAN pemangkuan anggaran, TIDAK hanya pada item Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat serta beberapa item lain, tetap juga pada item Honor Forkopimda, hal mana pemangkuan anggaran dimaksud masih mengacu pada Perbup Nomor: 25 Tahun 2019 yang nyata-nyata sudah diubah dengan Perbup Nomor: 64 Tahun 2019.

ATAS KEKELIRUAN INI, dalam Pembahasan Rancangan Perda APBD  antara Banggar DPRD dan TAPD, dilakukan klarifikasi dan  disepakati;

"bahwa untuk Unit Sekretariat Daerah,- Khusus pada bagian Pemerintahan Umum disetujui anggarannya dengan catatan  agar  dilakukan penyesuaian kembali  dengan mengacu pada Perbup Nomor 64 Tahun 2019".

PERSETUJUAN pada tingkat inilah yang kemudian menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam melakukan penyesuaian dengan cara merubah anggaran yang sebelumnya dengan nilai    Rp.1,6 M (dalam Perda nomor 25 Tahun 2019)  menjadi    Rp.3 M (sesuai Perbup Nomor 64 Tahun 2019).

MEKANISME seperti ini yang kemudian membangun ASUMSI bahwa perihal Honor Forkopimda TIDAK dilakukan Pembahasan dalam sidang pembahasan RAPBD.

Asumsi terhadap hal ini boleh saja dibangun dengan cara pandang masing-masing. Tidak soal.
TETAPI sesuatu yang pasti adalah bahwa ada peristiwa komunikasi pembahasan yang telah terjadi dalam ruang sidang DPRD.

"Ada Klarifikasi Pemerintah atas kekeliruan pemangkuan anggaran dan ada persetujuan forum sidang untuk diterima dan dilakukan penyesuaian dari nilai Rp.1,6 M menjadi  Rp.3 M."

INI soal Pola Pembahasan.- BUKAN SPEKULASI. 
KEPUTUSAN Persetujuan atas klarifikasi itu yang berdampak hukum,- BUKAN soal tata cara pembahasannya.

▪ Pasca Pembahasan Rancangan Perda APBD:

SEBELUM Rancangan APBD ditetapkan sebagai APBD dengan Peraturan Daerah, Dokumen hasil Pembahasan RAPBD dimaksud dievaluasi oleh Gubernur selaku Pemerintah Pusat yang ada di daerah.

DOKUMEN apa sajakah yang harus menjadi peehatian dalam peristiwa Evaluasi ini? 
TENTU saja; 
▪RAPBD hasil Pembahasan bersama, 
▪ Perbup Nomor 64 Tahun 2019 tentang SBU dan 
▪ Naskah Keputusan DPRD Kab Flores Timur tentang Persetujuan RAPBD menjadi APBD.

ALHASIL; 
Gubernur NTT tidak memberikan catatan apa pun sebagai rekomendasi perbaikan atau lainnya atas RAPBD itu.

INI artinya apa?
ARTINYA RAPBD Kab Flores Timur Tahun Anggaran 2020 yang kontennya pula termasuk Honor Forkopimda sudah dinyatakan disetujui oleh Pemerintah Pusat melalui Gubernur NTT untuk  boleh ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur sebagai Peraturan Daerah/PERDA.

▪Simpulan Pro- Kontra:
¤ Belum ada Kesamaan Pemahaman sampai ke tingkat publik bahwa; Ranperda APBD dan Perda APBD adalah dua dokumen yang berbeda walaupun berkaitan. 
Dokumen Ranperda tersebut menjadi Perda ditentukan oleh Forum Pembahasan yang mengerucut pada disepakati dan disetujui bersama menjadi Perda APBD.

¤ Belum ada Kesamaan pemahaman terkait sebuah Risalah Sidang. 
Risalah Sidang itu sejatinya berisi percakapan dalam dinamika Forum Pembahasan yang bisa saja tidak memiliki makna apa-apa mana kala Palu Keputusan menyatakan lain dari apa yang menjadi bunyi percakapan itu. 

MAKANYA:
TIDAK cukup hanya membaca Risalah Sidang tanpa mau MENGERTI Mekanisme Persidangan.

¤ Diantara kita ada yang belum memiliki data dan informasi secara valid, masih minim data, tidak mendapat pendiskusian secara tuntas atas hal ini.
Dalam keadaan seperti ini, tanpa sadar, boleh jadi kitalah yang melakukan PEMBOHONGAN PUBLIK.

¤ Di antara kita juga belum ada Kesamaan  paham tentang MAKNA PEMBAHASAN dan PERSETUJUAN BERSAMA.
Jika kita paham, maka kita akan melihat segala perubahan yang terjadi dalam proses pembahasan Rancangan Perda APBD seperti  Perubahan terhadap besaran dan Rincian Belanja pada kegiatan yang diusulkan adalah hal yang biasa dalam dinamika pembahasan.
Kita juga akan memahami secara baik bahwa 
sebuah Perda termasuk APBD, dapat ditetapkan kalau ada persetujuan bersama.

Dengan begitu, kita tidak terjebak dengan cara pandang dan sikap oknum ADPRD yang seolah memisahkan diri dari sikap Lembaga atas sebuah keputusan. (Jika ada).

INI dinamika hidup BERDEMOKRASI. 
MARI berdiskusi tanpa "Mendakwa" siapapun.***

Sabtu, 20 Juni 2020

ALOKASI DANA DESA DAN PERATURAN BUPATI FLORES TIMUR ‘’Menikung ke-simpangsiur-an berpikir’’




¤AWAL CERITA :
        BERMULA ditanggal  27 April 2020. Dari tanggal inilah polemik tentang Alokasi Dana Desa mulai di-gonjang-ganjing-kan. Rupanya ini adalah sebuah kebijakan yang paling seksi di mata para Kepala Desa.

Kebijakan "seksi" ini menjadi thema diskusi yang tentunya hangat dan menyita waktu ketika Bupati Flores Timur menetapkan Perbup Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati Flores Timur Nomor 79 Tahun 2019  tentang Tata Cara Pengalokasian Alokasi Dana Desa Dan Besaran Alokasi Dana Desa untuk Setiap Desa Tahun Anggaran 2020.  Tentu saja Alokasi Dana Desa dimaksud untuk 229 (dua ratus dua puluh sembilan) desa dalam wilayah hukum kabupaten Flores Timur.
Alasan dilakukan perubahan Perbup dimaksud adalah sehubungan dengan penyesuaian dan/atau penetapan pagu alokasi transfer daerah sebagai bagian dari belanja negara, yang berdasarkan PERMENKEU Nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa tahun anggaran 2020 dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, menyebabkan perubahan besaran Alokasi Dana Desa untuk setiap desa. 
(terbaca pada konsiderans menimbang huruf a)
Tak dipungkiri bahwa Penetapan Perbup Nomor 18 Tahun 2020 ini sontak menuai kegalauan sejumlah Kepala Desa dan Perangkat desa. Dipastikan bahwa kegalauan ini akibat terjadi perubahan jumlah alokasi (ter-baca) pada lampiran Perbup Nomor 18 Tahun 2020,-  menjadi berkurang dari yang semula, yang sudah ditetapkan  berdasarkan  Perbup Nomor 79 Tahun 2019.

Sedang dalam situasi galaunya sejumlah Kepala Desa dan Sejumlah Perangkat Desa, Pemda Flores Timur pula sedang mencermati kembali Perbup Nomor 18 Tahun 2020 ini dan kemudian melakukan penyesuaian kembali. Hasil pencermatan dan tindakan penyesuaian ini berujung pada ditetapkannya Peraturan Bupati Flores Timur Nomor 30 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bupati Flores Timur Nomor 79 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengalokasian Alokasi Dana Desa dan Besaran  Alokasi Dana Desa Untuk Setiap Desa pada tanggal 17 Juni 2020.

Berselang hanya sehari sejak ditetapkannya Perbup Nomor 30 Tahun 2020, tanggal 18 Juni 2020, sejumlah Kepala Desa mendatangi kantor Bupati Flores Timur dengan maksud menyampaian semacam aspirasi dan/atau harapan agar Perbup Nomor 18 Tahun 2020 (yang sejatinya sudah diubah dengan Perbup Nomor 30 Tahun 2020) dapat ditinjau kembali mengingat besaran Alokasi Dana Desa sebagaimana yang sudah ditetapkan tidak dapat menjawab kebutuhan Biaya Operasional dalam tahun anggaran 2020.
Harapan itu disampaikan dalam forum dialogis bersama Bupati Flores Timur, Sekda, Kepala Dinas PMD dan Kepala Badan Keuangan Daerah. Dinamika forum dialogis itu mengerucut pada kesepahaman bersama dan PRINSIP akan ;

▪Pentingnya Biaya Operasional bagi Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan layanan kemasyarakatan dan pengelolaan pembangunan di desa,- Sehubungan dengan itu, Bupati menyatakan kesediaan untuk Pemda dapat melakukan penyesuaian kembali,-  dan saat ini Pemda sedang melakukan pencermatan ulang untuk kepentingan penyesuaian pengalokasian dengan focus pada Biaya Operasional. Mengapa hanya focus pada Biaya Operasional, sebab dalam Perbup Nomor 30 Tahun 2020, Item biaya pada Penghasilan Tetap (SILTAP) dan Tunjangan BPD selama 12 bulan dalam Tahun Anggaran 2020 sudah sesuai dengan jumlah yang harus direalisasi.
▪Bupati dalam hal ini Pemda Flores Timur tidak melahirkan kebijakan pengurangan SILTAP bagi Kepala Desa dan Perangkat serta Tunjangan bagi Ketua dan Anggota BPD.
▪Dalam situasi apa pun, Kepala Desa dan Perangkat tetap melaksanakan tugas pelayanan bagi masyarakat sebagaimana biasanya.
Dengan mengerucutnya dialog pada tiga formula PRINSIP ini, forum bersepakat untuk mengakhiri pertemuan itu.*

¤SIMPANG SIUR OPINI :
        Pasca forum dialogis dimaksud, terbersit berbagai pemikiran dan pernyataan di sejumlah media online dan postingan status beberapa kalangan dengan menggunakan DIKSI yang tidak edukatif. Di sana pula dikedepankan pemikiran dan pandangan yang meminta Bupati untuk meletakan kebijakan dalam konteks Alokasi Dana Desa di luar frem normatif atas nama KEBERPIHAKAN. Selain itu, melalui telephon seluler,sejumlah saudara di kampung halaman menelpon menanyakan mengapa Bupati di Demo oleh para Kades?
Diksi yang tidak mendidik publik semacam; Forum Kades Menolak Perbup, Alokasi Dana Desa dipangkas/dipotong adalah diksi dan formula opini yang berkarakter demonstratif  dan  tidak mengakar pada kondisi faktual namun melayang-layang di udara bagai layang-layang putus benangnya. Media dan sejumlah oknum netizen nampaknya hanya memelas kulit luar dari sebuah bola bundar yang berisi angin tanpa memahami mengapa tekanan angin tidak maksimal dalam bola bundar itu. Maka lahirlah opini yang tidak sempurna dengan thema Bolanya Kempes karena dikeluarkan sebagian angin dari pentilnya tanpa mengelaborase mengapa tekanan angin dalam bola itu menjadi tidak maksimal,-? Dan mengapa bola itu semula baik tapi kemudian menjadi kempes.-?
Oleh sebab itu, demi sebuah informasi publik yang bernilai didik, ada baiknya semua pihak mesti melihat kebijakan ini dari pojok pandang normatif untuk boleh mengukur sebuah nilai yang bernama keadilan dan keberpihakan.

¤MENIKUNG KE-SIMPANGSIUR-AN:

▪Bahwa tidak ada demonstrasi penolakan Perbup dan tidak ada pemotongan/pemangkasan jumlah Alokasi Dana Desa.

▪Bahwa berkurangnya jumlah alokasi yang ditetapkan sebelumnya memiliki makna yang tidak identik dengan diksi Pemotongan/Pemangkasan.

▪Bahwa berkurangnya jumlah alokasi anggaran dimaksud merupakan akibat dari kebijakan penyesuaian pagu alokasi transfer ke daerah yang mengalami pengurangan akibat Bencana nasional ( Covid 19) sebagaimana yang sudah diatur dalam Permenkeu Nomor 35/PMK.07/2020.

▪Bahwa kebijakan pengurangan bukan pemotongan ini setelah memperhitungkan hak-hak berupa SILTAP Kepala Desa dan Perangkat serta Tunjangan Ketua dan Anggota BPD.
Ini artinya, bahwa kebijakan lahirnya Perbup Nomor 18/2020 dan Nomor 30/2020 sama sekali tidak mengganggu SILTAP Kepala Desa/Perangkat dan Tunjangan BPD.

▪Bahwa jika semua pihak terlebih para Kepala Desa membaca naskah Perbup Nomor 18 dan Nomor 30 Tahun 2020 mulai dari judul dan Considerans Menimbang maka  dipastikan akan ada kesepahaman positip tanpa ada pikiran negatip mendahului komunikasi kerja hirarcis.
Soalnya pula  ada pada cara membaca kedua naskah Produk hukum ini; 
Mestinya dimulai dari Judul dan Considerans serta Dasar Hukumnya tapi berkecenderungan sangat kuat langsung melakukan lompatan menuju angka-angka pada lampirannya.

¤MENGINTIP KEGALAUAN:
        Dua hari sebelum datangnya rombongan para Kepala desa pasca penetapan Perbup Nomor 18 Tahun 2020, ada beberapa Kepala Desa/Perangkat yang datang berkonsultasi ke Dinas PMD. Materi konsultasinya adalah terkait perubahan alokasi pagu pada Perbup Nomor 18/2020.
Dalam perhitungan, jumlah yang ada tidak akan bisa menutupi biaya operasional yang sudah dibelanjakan melampaui anggaran yang sudah terealisasi pada Tri Wulan Pertama sebesar 25% dari pagu yang tertera dalam Lampiran Perbup Nomor 79 Tahun 2019.

INI artinya apa ?
Ada sejumlah asusmsi  yang dapat dilukiskan untuk membangun dugaan atas perihal ini:

KESATU :
Bahwa dengan penetapan Perbup Nomor 79 Tahun 2019, ketika itu para Kepala Desa sudah berhitung secara baik berapa jumlah anggaran untuk biaya operasional setelah memisahkan jumlah yang harus diperuntukan bagi SILTAP dan Tunjangan BPD.
Rumusannya sangat mudah untuk menghitung berapa besar biaya operasional dalam satu tahun anggaran. Hanya dengan menghitung Total Pagu Alokasi Dana Desa yang diterima, dikurangi total SILTAP dan Tunjangan BPD maka akan menghasilakan berapa besar Biaya Operasional dalam satu tahun anggaran.

KEDUA :
Bahwa dengan alasan perhitungan sebagaimana pada point KESATU, kendatipun pada rekening desa untuk penyaluran tahab I sebesar 25% itu sudah tidak ada lagi sisa anggaran untuk biaya operasinal, tetapi pembelanjaan untuk operasional urusan kantor terus dilakukan dengan sistim Cash bon.
Sistim ini tentu dilakukan sebagai cara untuk mengatasi kebutuhan layanan perkantoran yang tentu pula telah diperhitungkan akan ditutup atau dilunasi setelah penyaluran tahab berikutnya.
Kondisi semacam ini perlu dipahami secara rasional karena boleh jadi intensitas kerja meningkat drastis dalam masa Pandemi Covid-19 yang kemudian berimplikasi pada meningkatnya pengeluaran untuk biaya operasional.
Rasionalisasi pertanggung jawabannya tentu akan dilihat pada Laporan Pertanggung Jawaban dan/atau mungkin saja ada auditing dari Pengawas Internal Pemerintah Daerah dalam hal ini Inspektorat Daerah Kabupaten Flores Timur dan/ atau oleh APH mana kala ada Laporan Dugaan Penyalah Gunaan Anggaran dari masyarakat.

KETIGA :
Dengan menghubungkan asumsi KESATU dan KEDUA, maka menjadi sangat beralasan ketika kegalauan mulai menggerogoti hati dan pikiran mereka disaat mengetahui adanya perubahan pagu melalui Perbup Nomor 18 Tahun 2020. Maka keluarlah ungkapan sedehana;
‘’ Kalau model begini, kelebihan belanja operasional yang sudah terbelanjakan dengan sistim Cash Bon ini kita SPJ bagaimana?’’ kami harap pak Bupati dapat mempertimbangkan kembali.’’
Nah, ini hanya asumsi. Belum tentu juga benar !!!

¤MEMPREDIKSI LANGKAH PENYESUAIAN:
        Menyikapi harapan para Kepala Desa, Bupati Flores Timur telah menyatakan untuk dilakukan penyesuai kembali pengalokasian pagu agar sedapatnya menjawabi kondisi keuangan semua desa dalam Tahun Anggaran ini.
Maka langkah penyesuaiannya kira-kira dimulai dengan perhitungan seperti ini :
▪Mematok angka SILTAP Kepala Desa dan Perangkat :
▪Mematok angka Tunjangan BPD :
▪Menemukan  berapa Biaya     Operasional dan melakukan Rasionalisasi.

•SILTAP Kepala Desa dan Perangkat :
Jumlah Kepala Desa : 229 orang
Jumlah Sekdes : 229 orang
Jumlah KAUR : 687 orang
Jumlah Kepala Seksi : 687 orang
Jumlah Kepala Dusun : 779 orang
Total : 2611 orang.
Maka total anggaran yang harus dialokasikan sebesar :
Rp.64.786.346.160.-

•Tunjangan BPD :
Ketua : 229 orang
Wakil Ketua : 229 orang
Sekretaris : 229 orang
Anggota : 736 orang
Total : 1423 orang.
Maka total anggaran yang harus dialokasikan adalah sebesar :
Rp.8.616.600,000.-
Jika  kita berhitung berapa total anggaran dari ADD untuk membiayai Penghasilan Tetap seluruh Kepala Desa dan Perangkatnya serta Tunjangan seluruh Ketua dan Anggota BPD se-Kabupaten Flores Timur dalam satu tahun anggaran, maka kita akan menemukan angka sebesar : Rp. 73.402.946.160.-

•Biaya Operasional dan Rasionalisasinya :
Biaya operasional ini dihitung dari Total Pagu yang ditetapkan dalam Perbup Perubahan terakhir setelah dikurangi total SILTAP dan Tunjangan BPD.

Jika  Pagu Alokasi Dana Desa untuk masing-masing desa sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Perbup Nomor 30 Tahun 2020 tidak disesuaikan kembali yakni tetap pada angka       Rp. 74. 528. 703.300,- maka dengan menggunakan rumus sederhana dapat diperoleh jumlah biaya operasional yakni Total Pagu Rp. 74. 528. 703.300,- dikurangi SILTAP Rp. 73. 402. 946.160.-   maka akan diperoleh angka untuk biaya operasional sebesar: Rp.1.125.757.140,-
Jika total biaya operasional sebesar Rp.1.125.757.140 dibagi secara merata untuk 229 desa di Kabupaten Flores Timur, maka masing-masing desa mendapat Rp. 4.915.970,-

Nah,
Jika saja ada desa yang sudah terlanjur melakukan pengeluaran operasional dengan sistim sebagaimana asumsi point Kedua;      
bahwa  kendatipun di rekening desa untuk penyaluran tahab I sebesar 25% sudah tidak ada lagi sisa anggaran tetapi pembelanjaan untuk operasional urusan kantor terus dilakukan dengan sistim Cash bon yang telah melampaui Rp. 4.915.970,- maka tentu saja hal ini menjadi problema yang harus dipikirkan jalan keluarnya.

Dan pintu menuju  jalan keluar sudah dibuka oleh Bupati melalui sikap ‘’setuju untuk penyesuaian’’.
Mari kita menunggu dalam kesabaran tanpa perlu ada kecemasan.
Sebab hal biaya membangun desa tidak hanya dari Alokasi Dana Desa/ADD semata, tapi juga dari dana Bagi Hasil Pajak/BHPR dan Dana Desa itu sendiri.


Tetaplah setia pada amanah dan Pertanggungjawaban !!!***
Salam…….RK.

Kamis, 14 Mei 2020

MENYAPU SAMPAH YANG BERSERAKAN

        Andai saja Akun FB dan Blog adalah rumah tinggal, maka siapapun dia yang meyakini bahwa bersih itu adalah bagian dari iman, tentu saja tidak rela kalau rumahnya dikotori oleh siapa saja yang datang hanya untuk mengotorinya dengan lumpur dan  sampah-sampah. Apa lagi sekedar mampir dengan tujuan ikut mengotori lalu kemudian menceritakan kepada tetangganya bahwa rumah itu kotor dan karena itu tak perlu disinggahi apa lagi bertamu di sana,- baiknya bertamu di rumah ku saja yang bersih dan menawan pikiran.

Dua hari sibuk di luar rumah membuat rumah diobok-obok dan dikotori oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Diam-diam ia masuk melihat isi rumah sambil mengotorinya lalu diam-diam pula ia pergi sambil menceritakan keburukan kepada tetangganya yang bernama Si Buta.

Karena Buta, tentu saja ia tak tahu kalau yang mengantar cerita itu adalah seorang anak kecil yang belum cukup mampu membersihkan ingus pada hidungnya meski terasa besar jabatan yang sedang diemban. Karena Buta pula, ia tak tahu bahwa sebuah jabatan tidak mesti menjadi representasi kapasitas seseorang.

Si Buta kemudian meneruskan cerita itu dan meminta semua orang untuk menjadikan cerita itu sebagai PEMBANDING. Alhasil, cerita itu bagaikan si jago merah melahap habis rerumputan kering, tikus-tikus di lubang tanah, kecoak di pepohonan, ular beludak pada semak belukar, Tokek pada batang pohon, Kadal pada bebatuan dan cecak-cecak pada ranting-ranting kayu kering.

FORMULA di atas hanyalah sekedar pengandaian sekaligus pengantar untuk menyapu buang serpihan sampah yang mengotori tulisan saya terdahulu. Serpihan sampah itu adalah komentar yang saya nilai sebagai sampah yang harus disapu untuk dibakar sebab sangat tidak produktif.

Sampah-sampah yang saya maksudkan, berserakan seperti ini:

PERTAMA :
Honor Forkopimda itu sudah ditetapkan dalam APBD antara DPRD dan Pemerintah (Bupati) oleh karena APBD itu menjadi PERDA maka dijabarkan oleh Bupati dalam Perbup untuk teknis Operasinalnya.

NARASI di atas sedang menggambarkan bahwa Penulis sungguh tidak paham apa-apa soal ini.
Harus diketahui bahwa Honor Fokopimda itu TIDAK diatur dan ditetapkan dalam PERDA APBD.- Perda APBD hanya memuat Program dan Kegiatan setiap OPD dengan biaya secara gelondongan yang kemudian total biaya secara gelondongan dimasud diuraikan lebih lanjut dalam PERBUP tentang Penjabaran APBD.
Nah, dalam kaitan dengan Honor Forkopimda, harus diketahui pula bahwa perihal ini diatur dalam PERBUP tentang SBU dimana PERBUP ini ditetapkan MENDAHULUI PERDA APBD.
PERBUP tentang SBU ditetapkan oleh Bupati sebagai acuan dalam penyusunan RKA masing-masing OPD untuk kemudian dirampungkan menjadi Rancangan APBD yang selanjutnya dibahas oleh DPRD bersama Pemerintah (Bupati) dan ditetapkan sebagai PERDA APBD.
Jadi jangan sesat pikir bahwa PERBUP tentang SBU itu adalah penjabaran teknis Operasional dari PERDA APBD. !!!

Bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yang pembentukannya melalui mekanisme dan rujukan sejumlah ketentuan hukum sebagaimana diuraikan adalah bukan sesuatu yang tabuh bagi Pemerintah Daerah karena itu TIDAK PENTING untuk dijelaskan lagi. Toh yang memberikan penjelasan ini adalah orang yang hanya mengenal teori yang mungkin saja baru berkesempatan membaca hanya untuk mengotori ruang publik. Sejak kapan penulis melakukan hal ini seperti Pemerintah Daerah yang selalu berulang tahun mengurus hal yanfg sama?

APA LAGI Penulis melatih diri untuk ber-eksen seolah Dosen Hukum dengan mengedepankan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019  sebagai salah satu rujukan hukum dalam mempersoalkan penetapan PERBUP SBU oleh Bupati.

He, Tidak tahu kah bahwa PP Nomor 12 Tahun 2019 telah dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 sebagaimana terbaca pada pasal 6 yang menegaskan bahwa Ketentuan Mengenai Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dan standar biaya perjalanan dinas luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 digunakan paling lambat untuk perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021 ????????

OLEH KARENA ketidak tahuan inilah maka logika hukum yang telah dibangun itu adalah sampah, aneh dan lucu serta hanya ada dalam alam pikiran penulis itu sendiri.

Mengapa ?
Bagaimana bisa menilai  Praktek Pemerintahan dalam Tahun 2018 dengan menggunakan rujukan hukum yang baru akan berlaku dalam Tahun 2021 nanti?

BERHENTILAH menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah itu sangat tidak masuk akal sebab yang tidak masuk akal itu adalah akal mu sendiri. Aapalagi menyerukan kepada para pejabat yang telah menerima honor itu untuk mengembalikan uang rakyat agar honor itu tidak menjadi horor yang menyeret mereka ke meja hijau….hehehehehe,,, JANGAN meremehkan para pejabat dimaksud dengan ancaman itu. Jangan buat diri seolah-olah hebat dan paling benar !!!

KEDUA :
Perihal  LHP BPK menjadi obyek sengketa TUN;

Dalam Tulisan yang dishare di SF, kata Penulis telah ditanyai oleh beberapa orang yang membaca pendapat dalam tulisan saya. Penulis tidak langsung menjawab tapi tetapi tertawa lucu.

Narasi ini sedang menggambarkan kesombongan kosong penulis dalam menempatkan diri seolah orang hebat di hadapan beberapa orang yang bertanya kepadanya. INI tipologi anak akil balik yang sedang merasah diri hebat karena predikat Magister dan dalam level  jabatan yang tidak pernah diemban oleh kebanyakan orang di kampung halamannya. Nampaknya ia sedang gagal beradaptasi dengan lingkungan dan jabatan yang sedang diemban.

HENDAKnya tidak perlu eksen dengan menguraikan definisi sebuah Keputusan TUN seolah hal ini tabuh bagi banyak orang. Pula tidak perlu menggurui dengan menguraikan pemahaman konyol bahwa LHP BPK BUKANLAH obyek sengketa TUN dan siapa yang memiliki legal standing dalam menggugat LHP BPK.

Saya kasih Pemahaman ya, meski karena kegagalan mu beradaptasi sehingga ini kau anggap pemahaman sempit tapi setidaknya boleh membuat mu mengerti bahwa;

Pada pasal 1 butir 14 UU Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggu-jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai KEPUTUSAN BPK.

Atas dasar ketentuan di atas, saya menyarankan untuk KRBF menggugat BPK  ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menjadikan LHP BPK dimaksud sebagai Obyek Sengketa TUN.

TERKAIT ketentuan di atas, dalam Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, suda ada sejumlah gugatan ke PTUN atas LHP BPK.
Ada contoh kasus yang sengaja saya nyatakan di sini untuk diketahui seperti ;

▪ Di Jambi, Majelis Hakim PTUN menyidangkan dan memenangkan gugatan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Unit Pengelola Campuran Aspal (UPCA) Kota Jambi Ajrisa Windra, atas Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi terkait  LHP BPK RI Perwakilan Jambi dimana dalam LHP tersebut BPK menemukan adanya kerugian Negara sebesar Rp. 5,1 Miliard di UPCA.

▪ Contoh kasus lain, kalau saya tidak salah ingat yakni kasusnya Pengacara O.C. kaligis.

▪ Contoh kasus lain lagi yang berkaitan dengan gugatan TUN dengan LHP BPK sebagai obyek sengketa TUN adalah oleh seorang yang bernama Benny Tjokro melaporkan BPK ke Peradilan tata Usaha Negara (PTUN) jakarta terkait Pemeriksaan Kasus PT Asuransi Jiwasraya.

KENDATIPUN hingga kini masih ada pertentangan di kalangan Hakim TUN terkait patut tidaknya LHP BPK sebagai obyek sengketa, tetapi fakta peradilan TUN di berbagai daerah telah membuktikan bahwa LHP BPK adalah KEPUTUSAN yang patut menjadi Obyek sengketa.
HAL ini dapat dipahami bahwa, dalam setiap persidangan gugatan di PTUN, ada tahap persidangan yang dikenal dengan Dismissal Proses atau Pemeriksaan Persiapan.
Terhadap contoh kasus di atas, dapat diketahui pula bahwa JIKA LHP BPK itu tidak dapat digugat ke PTUN sebagaimana penafsiran sesat itu maka sudah barang tentu gugatan itu akan ditolak oleh PTUN pada tingkatan Dismissal Proses.
Tapi mengapa gugatan diterima dan disidangkan kemudian ada Putusan Majelis Hakim ????
JIKA praktek seperti ini salah dan mungkin saja terkait Prilaku Hakim, maka saya kira baik kalau KOMISI YUDISIAL bisa kedengaran berperan dari pada hidup di antara ada dan tiada.

BERIKUT  soal siapa yang memiliki Legal Standing dalam menggugat ?,- Dalam konteks KRBF, bisa dilakukan oleh salah satu Aktivis dengan tidak mengedepankan nama KRBF untuk kepentingan pemenuhan syarat hukum gugatan..

DENGAN begitu, saya kira sampah-sampah yang berserakan sudah saya sudah disapu bersih dan kiranya jika ada yang hendak berkunjung ke akun FB atau Blog saya, silahkan berkunjung dengan senang hati.

Mari kita menyatakan pikiran kita dengan disposisi batin kita yang tak pernah menyimpan KEPAHITAN._ Biar segala tafsir kita terucap secara santun sebagai Ata Diken bukan sebaliknya.

SEBEB lebih elok adalah menyatakan seseorang MUNGKIN BENAR
Dari pada menyatakan SALAH dengan menggunakan KESALAHAN kita sendiri. ***

Minggu, 10 Mei 2020

MENJAWAB BAKTIAR LAMAWURAN


        Beberapa hari lalu, di Blog ini saya telah mengukir sebuah ASUMSI atas Dokumen LHP BPK berkaitan dengan Laporan Keuangan Pemerintah  Daerah dalam Tahun Anggaran 2018.

Dokumen LHP BPK dimaksud telah membuat KRBF seakan naik pitam. Buntutnya, Bupati Flores Timur dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Flores Timur setelah dilakukan kajian dan analisa hukum yang bagi saya sungguh  luar biasa. BPK dianggap tidak cermat dalam melakukan auditing. Alasan Ketidak cermatan ini adalah telah mengabaikan sejumlah tindakan Bupati Flores Timur yang nyata-nyata bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum. Bupati Flores Timur dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum  yang kemudian telah  berdampak pada kerugian keuangan yang diderita oleh daerah.

      "KETIKA Daerah mengalami penderitaan akibat kerugian keuangan, sudah barang tentu seluruh elemen masyarakat ikut menanggung penderitaan itu termasuk KRBF"

Jika demikian, mana mungkin orang sekelas Baktiar Lamawuran yang kini menjadi aktivis KRBF mau menerima hal ini ? TENTU saja TIDAK !!!
Ia ( Baktiar Lamawuran ) bukanlah tipe manusia sembarangan. Ia seorang Politisi,- Mantan ADPRD Kabupaten Flores Timur, yang dikenal luas sebagai sosok yang ANTI KORUPSI, Bersih, cerdas di bidang Hukum dan layak menyandang Predikat sebagai seorang Pakar Hukum di Flores Timur. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚...

Saya mengenal beliau sebagai sosok ANTI KORUPSI selama  menjadi ADPRD bersamaan dengan kepemimpinan politik daerah ini dalam tangan Alm. Felix Fernandez.
Ketika itu, Ia benar-benar bersih dan membenci prilaku korupπŸ€£πŸ˜‚πŸ€£

BUNTUT dari resistensi atas LHP BPK ini, KRBF melaporkan Bupati Flores Timur ke Kejaksaan Negeri Flores Timur.

ATAS Laporan itu, untuk mengisi waktu nganggur, saya melukiskan asumsi saya pada blog ini dan kemudian menjadikan TS pada akun FB saya dan di Grup Suara Flotim.

Apa yang terjadi?
Saya telah mendapat kecaman yang luar biasa dan mendapatkan nilai di bawah satu.🀣🀣🀣🀣
Saya dianggap tidak paham hukum, tidak mengerti Politik Anggaran, membela Tuan  dan sejumlah sebutan lain yang sudah saya copy paste di bawah ini. DAN karena itu, sambil mengakui keterbatasan cara pandang saya, saya mencoba memberikan tanggapan sederhana atas formula komentar dari Baktiar Lamawuran pada TS saya yang telah ter -coppy.

JIKA siapa saja yang telah berkesempatan membuka Blog ini, baca baik-baik Terlebih dahilu KECAMAN dari Baktiar Lamawuran di bawah ini dan melanjutkannya dengan membaca tanggapannya.

INI BUKAN Komentar Seorang Pakar Hukum yang Berpikir dengan menggunakan kemauan Perut;

        "Mhn maaf ade Rofin kopong, pendapat hukum yg ade kemukakan diatas cenderung merupahkan sebuah opini liar krn tdk disandarkan pd PERMENDAGRI NO 14 THN 2016 TTG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENDAGRI NO 32 THN 2011 TTG PEDOMAN PEMBERIAN HIBA DAN BANSOS YG BERSUMBER DARI APBD.
Psl 5.
Hiba dpt diberikan kepada :
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah Daerah lainnya;
c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
d. Badan, Lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yg berbadan hukum Indonesia.
Psl ini merupahkan induk semangnya Belanja Hiba utk thn anggaran 2016 s/d sekarang.
Yg dipermasalahkan oleh kami KRBF adalah Belanja Hiba utk kelompok masyarakat yg mengartikulasikan diri dlm kelompok bereun senaren sejak TA 2018 dan 2019 diDUGA terjadi kerugian negara senilai 11 milyar rupiah lebih.
Pak Rofin berpikir lompat dan tdk beraturan langsung menyebutkan NPHD.
Pertanyaan sy adalah dlm psl 5 ini; apakah menyebut kelompok masyarakat??? sbg obyek hukum belanja hiba???
Pak Rofin tolong baca agar   pak rofin bisa dan dapat mengerti termasuk dg proses penganggaran dlm Permendagri ini. Juga bandingkan dg psl 5 Permendagri 32 thn 2011 psl 5 yg telah dirubah dg permendagri perubahan ini sehingga jgn sampai nanti publik menilai (bukan saya ama bhw pak rofin kopong sarjana hukum tapi tdk mengerti hukum amane.

2. Ternyata ilmu pengetahuan hukum pak rofin kopong sarjana hukum ttg produk hukum hampir saya sebut dibawah standar.
Ttg Forkompinda yg diatur dlm psl 26 UU Nomor 32 ttg Pemerintahan Daerah yg telah beberapa kali berubah.
Membaca sebuah produk hukum yg benar adalah; Membaca Judulnya, Konsiderans(Menimbang, Mengingat) sbg syarat sosiologis, Filosofis dan yuridis serta diktum dan penjelasan (ttg penjelasan oleh beberapa ahli HTN tertentu mengatakan "penjelasan" bukan merupahkan satu kesatuan dictum.
Salah satu peraturan Bupati Ttg ttg SBU(Standar Biaya umum) mengatur belanja honor forkompinda itu BUPATI memperoleh KEWENANGAN derifat oleh UU atau Peraturan Pemerintah dari dusun mana? Karena pd konsiderans mengingat dari PERDA NO 12 THN 2019 Ttg APBD KABUPATEN FLOTIM Tidak terbaca Nomor dan Tahun Peraturan Pemerintah yg didelegasikan oleh UU ttg PEMDA.
Bupati Flotim TANPA Kewenangan dan ceroboh mengatur angka uang dlm sebuah produk hukum.
Coba ama bandingkan dg tunjangan sewa rumah, tunjangan transportasi yg langsung diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah ttg susunan kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dprd dan adprd.
Jadi pak Rofin hrs lebih banyak lagi membaca beberapa referensi keAPBDan sehingga dlm medsos ini TIDAK hanya asal bunyi(verbatim) yg pd giliran hanya merombengkan keserjanaan bpk Rofin Kopong.
JANGAN POLITISASI HUKUM krn hanya cuma  membela Tuan.
Dalam psl 26 ayat(2) UU TTG PEMDA Menyebutkan Bupati sbg ketua dg anggotanya sbb: pimpinan dprd, kapolres, kajari, kodim.
Yg tdk termasuk dlm forkompinda menurut psl ini adalah; wkl bupati, sekda, ketua pengadilan dan kepala sekretariat.
Bukankah Bupati flotim nyata nyata bertindak melampaui KEWENANGAN.

Tanggapan saya ;
Untuk bpk Baktiar Lamawuran,- Pakar Hukum setelah membaca komentar di atas :

 1. Tentang subyek Pemerima Hibah, pasal 5  Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 telah mengaturnya secara limitatif sebagaimana yang diuraikan pada komentar di atas.
Formula hukum pada  Pasal 5 dimaksud telah dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 6 yang menjelaskan  kualifikasi subjek yang diatur dalam pasal 5.
Salah satu diantaranya adalah Pasal 6 ayat 5 huruf e yaitu badan yang bersifat nirlaba dan sukarela seperti kelompok masyarakat.
Sekiranya bapak Baktiar Lamawuran/ Pakar Hukum jangan berhenti di pasal 5.

Dalam hal Penafsiran Hukum, terdapat
adanya jenis penafsiran hukum yang disebut dengan Penafsiran Komprehensif atau Sistematis yaitu membaca satu ketentuan harus dikaitkan pula dengan ketentuan lainnya pada naskah Peraturan Perundang- undangan yang sama.

Sebagai orang yang mendapat nilai di bawah angka satu, saya justeru melihat bahwa TAFSIR Baktiar Lamawuran merupakan  TAFSIR PARSIAL yang hanya berkutat pada subjek dalam pasal 5 sehingga melahirkan kesimpulan yang SESAT bahwa kelompok masyarakat bukan sebagai subjek penerima hiba.

 2. Tentang Forkopimda;
Hal ini diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, BUKAN UU Nomor 32 tahun 2004.

Saya menjadi curiga bahwa bpk  Baktiar Lamawuran sebagai seorang Pakar Hukum di daerah telah lalai meng-Update Regulasi.πŸ˜‚

 3. DALAM hal upaya menemukannya sebuah ketentuan pengaturan hukum, bacalah pada isi setiap Pasal dan BUKAN pada pasal-pasal PENJELAS sebagaimana KLAIM NGAWUR bpk Baktiar.

4. PERIHAL Perbup, bpk Baktiar lebih ngawur lagi. Tolong dibaca Ketentuan pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

HARUS dipahami bahwa Tidak semua Peraturan Bupati BERSIFAT DELEGATIF. Saya ulangi lagi ya...
Bahwa tidak semua Peraturan Bupati  itu bersifat delegasian.

URAIAN bapak Baktiar yang menyinggung soal DERIVATIF menunjukan bahwa ternyata bapak adalah sosok Pakar Hukum Palsu.
Mengapa?
Perlu saya jelaskan bahwa : PERIHAL derivatif adalah perihal KEWENANGAN.

Secara Teori, penggunaan istilah derivatif oleh bapak menunjukan KENGAWURAN atau istilah yang bapak suka gunakan adalah KE KERAWA AN.

Bapak harus paham bahwa secara teori hukum, Sumber kewenangan yang bapak maksudkan itu ada dua yaitu :
1. Kewenangan Orijinal dan
2. Kewenangan Derivatif.

Nah, kewenangan Derivatif itu dibagi lagi menjadi dua bagian yakni :
1. Delegasi dan yang ke 2 adalah Mandat.

Sampai di sini bapak bisa paham?🀣🀣🀣🀣🀣🀣

Saya lanjutkan sedikit ya...

        Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 di sebutkan bahwa selain jenis peraturan perundangan sbgmana dalam hierarkhi terdapat peraturan lain yg ditetapkan seperti Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Bupati termasuk peraturan Desa sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yg lebih tinggi atau DiBENTUK BERDASARKAN Kewenangan.

JADI, Sebuah Perbup itu, dibentuk TIDAK HANYA  atas dasar Perintah Peraturan Perundangan yang lebih tinggi TETAPI  BISA PULA DIBENTUK berdasarkan kewenangan.
Pertanyaannya Kewenangan siapa?
Ya Bupati dongk!!!!

5. TENTANG Standar Biaya umum.
Perlu dipahami pula bahwa  hal itu ditetapkan BUKAN atas perintah aturan yg lebih tinggi tetapi dibentuk atas dasar kewenangan Kepala Daerah untuk kemudian  digunakan sebagai acuan dalam penyusunan  RKA Perangkat Daerah.
DAN prakteknya itu terjadi di seluruh pemerintahan daerah, baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota di seluruh Jagad Raya Indonesia.

SEHUBUNGAN dengan uraian  tanggapan saya di atas, maka saya berkesimpulan bahwa bapak Baktiar Lamawuran sudah amat sangat  ngawurrrrrrr dan KERAWA karena tidak memahami  Sistem Perundang - undangan di Indonesia.

        DEMIKIAN tanggapan saya, atas perhatian saya sampaikan terimakasih.***

Kamis, 07 Mei 2020

ANTARA BUPATI & KRBF; Ada JAKSA Penjaga Jarak.

HARI-HARI belakangan ini, laman Facebook saya cukup diramaikan dengan postingan berita, status dan komentar-komentar para Facebooker, sehubungan dengan Laporan dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Bupati Flores Timur atas Pengelolaan Keuangan Daerah dengan penekanan pada Pengelolaan  dana Hibah dan Honor Forkopimda.
LAPORAN ini oleh Koalisi Rakyat Bersatu Flores Timur yang disingkat KRBF telah disampaikan ke Kejaksaan Negeri Flores Timur.

MELAPOR seorang Bupati ditengah situasi ini, cukup berpotensi membelah konsentrasi publik Flotim yang saat ini sedang focus pada perkembangan pandemi Covid 19 di Lewotana. Dalam laporan ini pula, ke- JAKSA - an adalah ruang pilihan penjaga jarak antara KRBF dan Bupati Flores Timur.
Karena ada ruang penjaga jarak maka sudah barang tentu, antara Bupati dan KRBF tidak ada potensi terpapar virus korupsi eh salah... maksud saya virus Corona.

MATERI LAPORAN dugaan korupsi yang telah dilakukan oleh Bupati Flores Timur, oleh KRBF dengan basis data LHP BPK tentu saja KRBF memiliki argumentasi dan keyakinan hukum tersendiri. Secara gamblang, bisa terbaca dan atau terdengar pada postingan status dan beberapa bagian  vidio penyerahan laporan di Kejaksaan Negeri Flores Timur.

Saya sangka, hal ini bukan hal sepeleh dan remeh -  temeh. SEBAGAI Pejabat Publik, ada baiknya juga hal ini dilihat sebagai kontrol publik atas praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena itu, terlepas dari urusan hukum atas laporan ini, saya sangka ada  baiknya  juga kalau diikuti dengan kelarifikasi untuk disampaikan ke publik. 
Hal ini dimaksudkan bukan untuk sekedar  berbalas pantun, tetapi untuk menciptakan keseimbangan informasi bagi publik Lewotana sepanjang belum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

INI urusan hukum yang menyeret jabatan Politik !!!

KEMBALI ke Perihal Laporan;

       Dalam pandangan sempit, Saya mencoba melukiskan pikiran saya yang tentunya berbeda dengan lukisan pikiran KRBF,- sebagai pihak Pelapor dan bisa juga berbeda dengan Bupati Flores Timur sebagai pihak Terlapor.

▪PERTAMA ; Pengelolaan Dana Hibah.
Pada pokoknya, dana ini sudah digelontorkan ke kelompok-kelompok sasaran penerima.
Pada pokoknya pula, dana dimaksud sudah dimanfaatkan. Entah kepada kelompok yang mana dan untuk kepentingan apa serta berapa jumlahnya, baiklah hal ini kita lihat dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah ( NPHD ) masing-masing.

DALAM dugaan case ini, dengan keterbatasan cara pandang pula, saya coba melakukan pencermatan dan berasumsi dengan rujukan dokumen Hasil Auditing BPK.
Dengan membaca dokumen LHP BPK, dapat diasumsikan bahwa perihal Pengelolaan  Dana Hibah yang menjadi salah satu formula laporan, terdapat semacam adanya kekeliruan administrasi atau boleh disebut sebagai Mall administrasi yang tidak berpotensi TIPIKOR. Asumsi ini saya bangun berdasarkan formula LHP BPK yang bersifat Rekomendatif BUKAN Opini. Rekomendasi itu ditujukan kepada Pemda Flotim dengan arahan perbaikan administrasi. INI artinya apa? Artinya bahwa BPK dalam auditing hanya menemukan adanya kekeliruan administrasi dan karena itu harus dilakukan perbaikan.

       "Sederhananya jika ditemukan ada unsur kekeliruan administratif maka tentu saja arahan rekomendatifnya adalah agar segera dilakukan perbaikan dan  penyelesaian secara administratif pula".

Lain halnya jika ada temuan unsur pidana, sudah tentu Formula LHP BPK tidak seperti yang terbaca. Demikian pula tata cara penyampaian LHP, tentu dengan menggunakan mekanisme dan tata  cara yang berbeda pula seturut ketentuan peraturan perundang - undangan.

       ASUMSI saya atas kasus mall administrasi dalam Pengelolaan  Dana Hibah sebagaimana LHP BPK boleh jadi ditengarai oleh beberapa hal misalnya;
1. Hingga saat dilakukan auditing, Penerima hibah belum menyampaikan  laporan pertanggungjawaban pemanfaatan dana hibah,

2. Rincian Penerima hibah belum diatur secara limitatif dalam Keputusan Bupati,

3. Biaya kegiatan Peringatan 17 Agustus 2018 dianggarkan dalam belanja hibah,  yang kemudian diangap salah kamar dan mungkin saja beberapa item lainnya yang secara administrasi dinyatakan keliru dan/atau salah.

Karena itu BPK merekomendasikan untuk dilakukan perbaikan administrasi.

▪KEDUA; Honor FORKOPIMDA.

SECARA Kelembagaan sesuatu yang disebut Forkopimda ini sudah diatur secara tegas dalam pasal 26 UU Nomor  23 tahun 2014 ttg Pemerintahan Daerah, - yang kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati dengan mengeluarkan Perbup tentang kelembagaan forkopimda di Kabupaten Flores Timur dengan  pembebanan anggaran bersumber dari APBD Kabupaten Flores Timur.

Seingat saya, Perbup dimaksud ditetapkan dalam Tahun 2018.

Apa yang dilakukan oleh Bupati dalam kaitan dengan Penetapan Kelembagaan Forkopimda di daerah yang berimplikasi anggaran ini, sesungguhnya merupakan praktek ketatanegaraan yang pula dilakukan oleh seluruh gubernur dan Bupati/Walikota sejagat Indonesia.
DALAM konteks ini pula, secara Normatif telah diarahkan agar pembebanan biaya untuk honor Forkopimda dipangkukan dalam APBD Kabupaten.

JIKA semuanya sudah dilakukan atas dasar arahan regulasi, pertanyaannya adalah bagaimana dan dimana kita boleh menemukan  letak kesalahan hukum oleh Bupati Flores Timur yang telah nenimbulkan kerugian keuangan daerah dan berpotensi TIPIKOR ?

KARENA itu pula, agak miris memang saat melihat dan mendengar recaman vidio dimana ada sejumlah wartawan mewawancarai pak Kejari Flores Timur.
Terdengar pertanyaan yang sedikit aneh, dan terlihat Pak Kejari sepertinya sedikit grogi dalam memberikan jawaban ????? APAKAH mungkin karena pak Kejari sedang dongkol dengan pertanyaan aneh itu???

Semakin miris lagi adalah terbentuk opini di media bahwa Pak Kejari sudah mengakui menerima honor.  Pertanyaan lanjutan adalah
apakah memang ada yang sedang berpikir bahwa alokasi anggaran untuk honor Forkopimda dilakukan secara sembunyi- sembunyi termasuk disembunyikan pula cara pembayaran honornya?

MASIH dalam hubungan dengan resistensi atas honor Forkopimda, muncul pertanyaan, apakah yang dipersoalkan itu terkait kelayakan jumlah honor atau kepatutan Penerima Honor? -

Jika terkait kelayakan jumlah yang diterima, saya pikir cukup disampaikan ke Bupati secara langsung dalam sebuah pertemuan yang diagendakan secara baik dan/atau melalui DPRD. Tetapi jika terkait Kepatutan, saya kira memang Anggota Forkopimda patut mendapatkan honor atas dasar regulasi yang sudah ditetapkan.

Sebagaimana halnya, terakhir sebelum kenaikan honor  dalam  tahun ini, alokasi honor pada tahun sebelumnya sebesar 12,5 jt per bulan. Tentang Honor ini pula, jika saya tidak salah, sudah diatur pula dalam Perbup tentang standar biaya umum.

▪KETIGA; Tentang LHP BPK
JIKA Laporan Hasil Pemeriksaan BPK menjadi sumber bentukan opini dugaan TIPIKOR, maka saya kemudian berpikir bahwa itu adalah hak hukumnya KRBF.

Setiap siapa saja yang tidak tersangkut langsung sebagai Terlapor dan/atau Kuasa Hukum Terlapor tidak boleh PROTES kendatipun dengan membaca pasal 8 ayat (3) dan ayat (4), UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara telah memberi gambaran bahwa BPK tidak menemukan unsur Pidana yang telah dilakukan oleh Terlapor.
Artinya bahwa tidak diketemukan adanya unsur tindakan penyalahgunaan kewenangan yang kemudian berdampak pada kerugian keuangan daerah.

MENGAPA saya katakan demikian, karena JIKA ditemukan ada unsur Pidana, mengapa  BPK setelah melakukan auditing, tidak mengambil langkah sebagaimana amanat Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2004 ?

TETAPI jika KRBF tetap yakin bahwa apa  yang dilaporkan berangkat dari telaah hukum yang telah dilakukan secara saksama dan dalam tempo yang cukup maksimal maka saya kemudian berpikir bahwa;
          Ada baiknya sebelum melaporkan Bupati ke Kejaksaan Negeri Flores Timur,  terlebih dahulu melaporkan Tim Auditor BPK karena dianggap telah melanggar Kode etik Profesi.
Selain itu, Dokumen  LHP BPK dimaksud boleh dijadikan Obyek Sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jika tidak maka, saya pesimis Laporan KRBF dapat diproses lebih lanjut. Dan tidak diprosesnya Laporan sesuai harapan Pelapor BUKAN  karena efek dari penerimaan  honor Forkopimda oleh Kejari  tetapi memang tidak ada unsur Pidana yang diketemukan sebagaimana terbaca pada Dokumen LHP BPK.***

Salam dari kami
orang Kampung.#

Rabu, 29 April 2020

MELAWAN COVID 19 DI FLOTIM

Antara Kewajiban Hukum, Menjual Emas dan Menjual Ikan.
============
JIKA hal memerangi ancaman virus yang satu ini ibarat PANGSA PASAR, maka fenomena Kewajiban Hukum, Menjual Emas dan Menjual Ikan  kini menjadi sebuah panorama menarik.
Atas nama KEMANUSIAAN, gerakan atas nama keprihatinanpun mulai merebak. Ada berbagai gerakan yang dikedepankan dengan cara yang berbeda:
▪ Pihak Pemda sedang melaksanakan Kewajiban Hukumnya untuk mengambil langkah-langkah konkrit,  mengadvokasi masyarakat Lewotana dari ancaman yang mencemaskan ini.
▪ Ada Pihak yang hanya sekedar berpikir dan menulis di media sosial,- mendorong gagasan positip kepada pemerintah daerah agar penanganannya lebih efektif dan efisien.
▪Ada pula pihak yang memang sekedar berpikir dan melukiskan Resistensi dan kecurigaan  atas kebijakan Pemerintah Daerah terlebih pada urusan pengelolaan DOI. Secara Positip, baiklah hal ini dilihat sebagai kontrol publik yang menawan hati.
▪Ada Pejabat Daerah yang secara DIAM-DIAM merogoh koceknya sendiri untuk melakukan Pengadaan APD dan lainnya bagi masyarakat yang sedang membutuhkan.
▪ Dan ada pula Pejabat Daerah yang menyuruh oknum Wartawan " BERTERIAK" di media bahwa ia telah memberikan bantuan kepada warga atau Tenaga  Medis ditengah terbatasnya fasilitas APD sebagai pendukung kerja medik dalam urusan yang satu ini supaya semua orang tahu bahwa ia sungguh gelisah dengan situasi sekarang.

Nah,
Dalam kerangka Pangsa Pasar, Lima dimensi Pihak di atas dapat dilukis pisahkan menjadi  dua bagian yakni: Bagian PERTAMA ialah  Pihak Pemerintah Daerah dan Warga Pemikir,- dan bagian KEDUA ialah Pihak Pejabat yang menyumbang.

Pada bagian PERTAMA, - Pihak Pemerintah Daerah dan Warga Pemikir  saya lukiskan sebagai pihak yang sedang melaksanakan Kewajiban Hukum meski terlihat masih ada keterbatasan yang belum terformula dengan baik. Pemerintah Daerah tentu punya keterbatasan dalam memainkan peran maksimal seirama dengan tuntutan kecemasan publik. Demikian pula Warga Pemikir, boleh jadi karena kecemasannya, ia lantas melukiskan harapan dan tuntutannya dengan cara yang relatif dinilai etis dan/  atau tidak etis. INI dinamika Sosial.

SEDANGKAN pada bagian KEDUA, Pihak Pejabat yang menyumbang, saya melukiskan ini sebagai Penjual Emas dan Penjual Ikan di Pasar Jalanan. Sebuah fenomena antara memelas kalbu dan menggelitik hati.
ADA Pejabat yang turun menemui warga dan memberikan bantuan secara diam-diam. Boleh jadi terkuak juga ke permukaan dan kedengaran oleh umum bahwa ia,- Pejabat yang bersangkutan  telah merogoh koceknya sendiri demi mengungkapkan kepeduliannya pada warga yang sungguh sedang membutuhkan uluran tangan dan perhatian. Nampaknya Si Pejabat itu memang iklas memberi tanpa ada tendensi apa pun. Getaran nurani kemanusiaannya telah mendorong dia untuk berbuat tanpa alasan apa pun selain alasan KEMANUSIAAN.

Tetapi ada pula Pejabat yang merencanakan secara mantap rencana penyerahan bantuannya termasuk menghadirkan sejumlah oknum Wartawan agar bisa dipublikasikan. Agar semua orang tahu bahwa ia sungguh peduli dan mau jadi Penderma dalam situasi ini.

PERILAKU Pejabat secara diam-diam memberikan bantuan kepada warga,  saya ibaratkan seperti seorang Penjual Emas Murni. Ia kadang duduk diam di tempat jualan tanpa ada kata promosi dan AJAKAN untuk menarik perhatian Pembeli. Kadang pula ia menyusuri lorong - lorong kampung sambil menjinjing peti jualannya tanpa sepatah kata pun. Orang tidak pernah tahu bahwa apa yang ada dalam Peti jinjingannya adalah emas murni yang meski tak laku dijual, ia tetaplah Emas Murni.

SEMANTARA,
PERILAKU Pejabat yang meminjam "mulutnya" wartawan untuk berteriak bahwa ia telah memberikan bantuan saya lebih suka lukiskan sebagai seorang Penjual Ikan.
Seorang Penjual ikan, meski di Pasar ikan, ia masih berteriak untuk menarik perhatian Pengunjung/Pembeli agar bisa membeli ikannya. Apa lagi kalau berjualan di setiap lorong kampung, ia tentu saja berteriak keliling kampung agar warga tahu bahwa ia sedang menjual ikan. Sambil berjualan, sambil ia cemas jangan sampai ikannya tidak laku dan bakalan BASI dan semakin AMIS.

TETAPI JIKA SAJA ada Pejabat yang mau sumbangkan sepuluh ekor ikan Tuna kepada RAKYAT, sebaiknya tak perlu diceritakan sebagai sebuah hal hebat. SEBAB boleh jadi RAKYAT  yang menerima sumbangan itu tahu bahwa yang KAU sumbangkan itu tidak sebanding dengan jumlah uang dan fasilitasnya yang KAU GARONG selama ini atas nama jabatan.***

Ada Pejabat yg tersinggung dan mau bermain api?
MarikitaBERMAIN. !!!
salam kopi pagi.