Kamis, 14 Mei 2020

MENYAPU SAMPAH YANG BERSERAKAN

        Andai saja Akun FB dan Blog adalah rumah tinggal, maka siapapun dia yang meyakini bahwa bersih itu adalah bagian dari iman, tentu saja tidak rela kalau rumahnya dikotori oleh siapa saja yang datang hanya untuk mengotorinya dengan lumpur dan  sampah-sampah. Apa lagi sekedar mampir dengan tujuan ikut mengotori lalu kemudian menceritakan kepada tetangganya bahwa rumah itu kotor dan karena itu tak perlu disinggahi apa lagi bertamu di sana,- baiknya bertamu di rumah ku saja yang bersih dan menawan pikiran.

Dua hari sibuk di luar rumah membuat rumah diobok-obok dan dikotori oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Diam-diam ia masuk melihat isi rumah sambil mengotorinya lalu diam-diam pula ia pergi sambil menceritakan keburukan kepada tetangganya yang bernama Si Buta.

Karena Buta, tentu saja ia tak tahu kalau yang mengantar cerita itu adalah seorang anak kecil yang belum cukup mampu membersihkan ingus pada hidungnya meski terasa besar jabatan yang sedang diemban. Karena Buta pula, ia tak tahu bahwa sebuah jabatan tidak mesti menjadi representasi kapasitas seseorang.

Si Buta kemudian meneruskan cerita itu dan meminta semua orang untuk menjadikan cerita itu sebagai PEMBANDING. Alhasil, cerita itu bagaikan si jago merah melahap habis rerumputan kering, tikus-tikus di lubang tanah, kecoak di pepohonan, ular beludak pada semak belukar, Tokek pada batang pohon, Kadal pada bebatuan dan cecak-cecak pada ranting-ranting kayu kering.

FORMULA di atas hanyalah sekedar pengandaian sekaligus pengantar untuk menyapu buang serpihan sampah yang mengotori tulisan saya terdahulu. Serpihan sampah itu adalah komentar yang saya nilai sebagai sampah yang harus disapu untuk dibakar sebab sangat tidak produktif.

Sampah-sampah yang saya maksudkan, berserakan seperti ini:

PERTAMA :
Honor Forkopimda itu sudah ditetapkan dalam APBD antara DPRD dan Pemerintah (Bupati) oleh karena APBD itu menjadi PERDA maka dijabarkan oleh Bupati dalam Perbup untuk teknis Operasinalnya.

NARASI di atas sedang menggambarkan bahwa Penulis sungguh tidak paham apa-apa soal ini.
Harus diketahui bahwa Honor Fokopimda itu TIDAK diatur dan ditetapkan dalam PERDA APBD.- Perda APBD hanya memuat Program dan Kegiatan setiap OPD dengan biaya secara gelondongan yang kemudian total biaya secara gelondongan dimasud diuraikan lebih lanjut dalam PERBUP tentang Penjabaran APBD.
Nah, dalam kaitan dengan Honor Forkopimda, harus diketahui pula bahwa perihal ini diatur dalam PERBUP tentang SBU dimana PERBUP ini ditetapkan MENDAHULUI PERDA APBD.
PERBUP tentang SBU ditetapkan oleh Bupati sebagai acuan dalam penyusunan RKA masing-masing OPD untuk kemudian dirampungkan menjadi Rancangan APBD yang selanjutnya dibahas oleh DPRD bersama Pemerintah (Bupati) dan ditetapkan sebagai PERDA APBD.
Jadi jangan sesat pikir bahwa PERBUP tentang SBU itu adalah penjabaran teknis Operasional dari PERDA APBD. !!!

Bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yang pembentukannya melalui mekanisme dan rujukan sejumlah ketentuan hukum sebagaimana diuraikan adalah bukan sesuatu yang tabuh bagi Pemerintah Daerah karena itu TIDAK PENTING untuk dijelaskan lagi. Toh yang memberikan penjelasan ini adalah orang yang hanya mengenal teori yang mungkin saja baru berkesempatan membaca hanya untuk mengotori ruang publik. Sejak kapan penulis melakukan hal ini seperti Pemerintah Daerah yang selalu berulang tahun mengurus hal yanfg sama?

APA LAGI Penulis melatih diri untuk ber-eksen seolah Dosen Hukum dengan mengedepankan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019  sebagai salah satu rujukan hukum dalam mempersoalkan penetapan PERBUP SBU oleh Bupati.

He, Tidak tahu kah bahwa PP Nomor 12 Tahun 2019 telah dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 sebagaimana terbaca pada pasal 6 yang menegaskan bahwa Ketentuan Mengenai Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dan standar biaya perjalanan dinas luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 digunakan paling lambat untuk perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021 ????????

OLEH KARENA ketidak tahuan inilah maka logika hukum yang telah dibangun itu adalah sampah, aneh dan lucu serta hanya ada dalam alam pikiran penulis itu sendiri.

Mengapa ?
Bagaimana bisa menilai  Praktek Pemerintahan dalam Tahun 2018 dengan menggunakan rujukan hukum yang baru akan berlaku dalam Tahun 2021 nanti?

BERHENTILAH menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah itu sangat tidak masuk akal sebab yang tidak masuk akal itu adalah akal mu sendiri. Aapalagi menyerukan kepada para pejabat yang telah menerima honor itu untuk mengembalikan uang rakyat agar honor itu tidak menjadi horor yang menyeret mereka ke meja hijau….hehehehehe,,, JANGAN meremehkan para pejabat dimaksud dengan ancaman itu. Jangan buat diri seolah-olah hebat dan paling benar !!!

KEDUA :
Perihal  LHP BPK menjadi obyek sengketa TUN;

Dalam Tulisan yang dishare di SF, kata Penulis telah ditanyai oleh beberapa orang yang membaca pendapat dalam tulisan saya. Penulis tidak langsung menjawab tapi tetapi tertawa lucu.

Narasi ini sedang menggambarkan kesombongan kosong penulis dalam menempatkan diri seolah orang hebat di hadapan beberapa orang yang bertanya kepadanya. INI tipologi anak akil balik yang sedang merasah diri hebat karena predikat Magister dan dalam level  jabatan yang tidak pernah diemban oleh kebanyakan orang di kampung halamannya. Nampaknya ia sedang gagal beradaptasi dengan lingkungan dan jabatan yang sedang diemban.

HENDAKnya tidak perlu eksen dengan menguraikan definisi sebuah Keputusan TUN seolah hal ini tabuh bagi banyak orang. Pula tidak perlu menggurui dengan menguraikan pemahaman konyol bahwa LHP BPK BUKANLAH obyek sengketa TUN dan siapa yang memiliki legal standing dalam menggugat LHP BPK.

Saya kasih Pemahaman ya, meski karena kegagalan mu beradaptasi sehingga ini kau anggap pemahaman sempit tapi setidaknya boleh membuat mu mengerti bahwa;

Pada pasal 1 butir 14 UU Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggu-jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai KEPUTUSAN BPK.

Atas dasar ketentuan di atas, saya menyarankan untuk KRBF menggugat BPK  ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menjadikan LHP BPK dimaksud sebagai Obyek Sengketa TUN.

TERKAIT ketentuan di atas, dalam Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, suda ada sejumlah gugatan ke PTUN atas LHP BPK.
Ada contoh kasus yang sengaja saya nyatakan di sini untuk diketahui seperti ;

▪ Di Jambi, Majelis Hakim PTUN menyidangkan dan memenangkan gugatan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Unit Pengelola Campuran Aspal (UPCA) Kota Jambi Ajrisa Windra, atas Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi terkait  LHP BPK RI Perwakilan Jambi dimana dalam LHP tersebut BPK menemukan adanya kerugian Negara sebesar Rp. 5,1 Miliard di UPCA.

▪ Contoh kasus lain, kalau saya tidak salah ingat yakni kasusnya Pengacara O.C. kaligis.

▪ Contoh kasus lain lagi yang berkaitan dengan gugatan TUN dengan LHP BPK sebagai obyek sengketa TUN adalah oleh seorang yang bernama Benny Tjokro melaporkan BPK ke Peradilan tata Usaha Negara (PTUN) jakarta terkait Pemeriksaan Kasus PT Asuransi Jiwasraya.

KENDATIPUN hingga kini masih ada pertentangan di kalangan Hakim TUN terkait patut tidaknya LHP BPK sebagai obyek sengketa, tetapi fakta peradilan TUN di berbagai daerah telah membuktikan bahwa LHP BPK adalah KEPUTUSAN yang patut menjadi Obyek sengketa.
HAL ini dapat dipahami bahwa, dalam setiap persidangan gugatan di PTUN, ada tahap persidangan yang dikenal dengan Dismissal Proses atau Pemeriksaan Persiapan.
Terhadap contoh kasus di atas, dapat diketahui pula bahwa JIKA LHP BPK itu tidak dapat digugat ke PTUN sebagaimana penafsiran sesat itu maka sudah barang tentu gugatan itu akan ditolak oleh PTUN pada tingkatan Dismissal Proses.
Tapi mengapa gugatan diterima dan disidangkan kemudian ada Putusan Majelis Hakim ????
JIKA praktek seperti ini salah dan mungkin saja terkait Prilaku Hakim, maka saya kira baik kalau KOMISI YUDISIAL bisa kedengaran berperan dari pada hidup di antara ada dan tiada.

BERIKUT  soal siapa yang memiliki Legal Standing dalam menggugat ?,- Dalam konteks KRBF, bisa dilakukan oleh salah satu Aktivis dengan tidak mengedepankan nama KRBF untuk kepentingan pemenuhan syarat hukum gugatan..

DENGAN begitu, saya kira sampah-sampah yang berserakan sudah saya sudah disapu bersih dan kiranya jika ada yang hendak berkunjung ke akun FB atau Blog saya, silahkan berkunjung dengan senang hati.

Mari kita menyatakan pikiran kita dengan disposisi batin kita yang tak pernah menyimpan KEPAHITAN._ Biar segala tafsir kita terucap secara santun sebagai Ata Diken bukan sebaliknya.

SEBEB lebih elok adalah menyatakan seseorang MUNGKIN BENAR
Dari pada menyatakan SALAH dengan menggunakan KESALAHAN kita sendiri. ***

Minggu, 10 Mei 2020

MENJAWAB BAKTIAR LAMAWURAN


        Beberapa hari lalu, di Blog ini saya telah mengukir sebuah ASUMSI atas Dokumen LHP BPK berkaitan dengan Laporan Keuangan Pemerintah  Daerah dalam Tahun Anggaran 2018.

Dokumen LHP BPK dimaksud telah membuat KRBF seakan naik pitam. Buntutnya, Bupati Flores Timur dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Flores Timur setelah dilakukan kajian dan analisa hukum yang bagi saya sungguh  luar biasa. BPK dianggap tidak cermat dalam melakukan auditing. Alasan Ketidak cermatan ini adalah telah mengabaikan sejumlah tindakan Bupati Flores Timur yang nyata-nyata bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum. Bupati Flores Timur dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum  yang kemudian telah  berdampak pada kerugian keuangan yang diderita oleh daerah.

      "KETIKA Daerah mengalami penderitaan akibat kerugian keuangan, sudah barang tentu seluruh elemen masyarakat ikut menanggung penderitaan itu termasuk KRBF"

Jika demikian, mana mungkin orang sekelas Baktiar Lamawuran yang kini menjadi aktivis KRBF mau menerima hal ini ? TENTU saja TIDAK !!!
Ia ( Baktiar Lamawuran ) bukanlah tipe manusia sembarangan. Ia seorang Politisi,- Mantan ADPRD Kabupaten Flores Timur, yang dikenal luas sebagai sosok yang ANTI KORUPSI, Bersih, cerdas di bidang Hukum dan layak menyandang Predikat sebagai seorang Pakar Hukum di Flores Timur. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚...

Saya mengenal beliau sebagai sosok ANTI KORUPSI selama  menjadi ADPRD bersamaan dengan kepemimpinan politik daerah ini dalam tangan Alm. Felix Fernandez.
Ketika itu, Ia benar-benar bersih dan membenci prilaku korupπŸ€£πŸ˜‚πŸ€£

BUNTUT dari resistensi atas LHP BPK ini, KRBF melaporkan Bupati Flores Timur ke Kejaksaan Negeri Flores Timur.

ATAS Laporan itu, untuk mengisi waktu nganggur, saya melukiskan asumsi saya pada blog ini dan kemudian menjadikan TS pada akun FB saya dan di Grup Suara Flotim.

Apa yang terjadi?
Saya telah mendapat kecaman yang luar biasa dan mendapatkan nilai di bawah satu.🀣🀣🀣🀣
Saya dianggap tidak paham hukum, tidak mengerti Politik Anggaran, membela Tuan  dan sejumlah sebutan lain yang sudah saya copy paste di bawah ini. DAN karena itu, sambil mengakui keterbatasan cara pandang saya, saya mencoba memberikan tanggapan sederhana atas formula komentar dari Baktiar Lamawuran pada TS saya yang telah ter -coppy.

JIKA siapa saja yang telah berkesempatan membuka Blog ini, baca baik-baik Terlebih dahilu KECAMAN dari Baktiar Lamawuran di bawah ini dan melanjutkannya dengan membaca tanggapannya.

INI BUKAN Komentar Seorang Pakar Hukum yang Berpikir dengan menggunakan kemauan Perut;

        "Mhn maaf ade Rofin kopong, pendapat hukum yg ade kemukakan diatas cenderung merupahkan sebuah opini liar krn tdk disandarkan pd PERMENDAGRI NO 14 THN 2016 TTG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENDAGRI NO 32 THN 2011 TTG PEDOMAN PEMBERIAN HIBA DAN BANSOS YG BERSUMBER DARI APBD.
Psl 5.
Hiba dpt diberikan kepada :
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah Daerah lainnya;
c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
d. Badan, Lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yg berbadan hukum Indonesia.
Psl ini merupahkan induk semangnya Belanja Hiba utk thn anggaran 2016 s/d sekarang.
Yg dipermasalahkan oleh kami KRBF adalah Belanja Hiba utk kelompok masyarakat yg mengartikulasikan diri dlm kelompok bereun senaren sejak TA 2018 dan 2019 diDUGA terjadi kerugian negara senilai 11 milyar rupiah lebih.
Pak Rofin berpikir lompat dan tdk beraturan langsung menyebutkan NPHD.
Pertanyaan sy adalah dlm psl 5 ini; apakah menyebut kelompok masyarakat??? sbg obyek hukum belanja hiba???
Pak Rofin tolong baca agar   pak rofin bisa dan dapat mengerti termasuk dg proses penganggaran dlm Permendagri ini. Juga bandingkan dg psl 5 Permendagri 32 thn 2011 psl 5 yg telah dirubah dg permendagri perubahan ini sehingga jgn sampai nanti publik menilai (bukan saya ama bhw pak rofin kopong sarjana hukum tapi tdk mengerti hukum amane.

2. Ternyata ilmu pengetahuan hukum pak rofin kopong sarjana hukum ttg produk hukum hampir saya sebut dibawah standar.
Ttg Forkompinda yg diatur dlm psl 26 UU Nomor 32 ttg Pemerintahan Daerah yg telah beberapa kali berubah.
Membaca sebuah produk hukum yg benar adalah; Membaca Judulnya, Konsiderans(Menimbang, Mengingat) sbg syarat sosiologis, Filosofis dan yuridis serta diktum dan penjelasan (ttg penjelasan oleh beberapa ahli HTN tertentu mengatakan "penjelasan" bukan merupahkan satu kesatuan dictum.
Salah satu peraturan Bupati Ttg ttg SBU(Standar Biaya umum) mengatur belanja honor forkompinda itu BUPATI memperoleh KEWENANGAN derifat oleh UU atau Peraturan Pemerintah dari dusun mana? Karena pd konsiderans mengingat dari PERDA NO 12 THN 2019 Ttg APBD KABUPATEN FLOTIM Tidak terbaca Nomor dan Tahun Peraturan Pemerintah yg didelegasikan oleh UU ttg PEMDA.
Bupati Flotim TANPA Kewenangan dan ceroboh mengatur angka uang dlm sebuah produk hukum.
Coba ama bandingkan dg tunjangan sewa rumah, tunjangan transportasi yg langsung diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah ttg susunan kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dprd dan adprd.
Jadi pak Rofin hrs lebih banyak lagi membaca beberapa referensi keAPBDan sehingga dlm medsos ini TIDAK hanya asal bunyi(verbatim) yg pd giliran hanya merombengkan keserjanaan bpk Rofin Kopong.
JANGAN POLITISASI HUKUM krn hanya cuma  membela Tuan.
Dalam psl 26 ayat(2) UU TTG PEMDA Menyebutkan Bupati sbg ketua dg anggotanya sbb: pimpinan dprd, kapolres, kajari, kodim.
Yg tdk termasuk dlm forkompinda menurut psl ini adalah; wkl bupati, sekda, ketua pengadilan dan kepala sekretariat.
Bukankah Bupati flotim nyata nyata bertindak melampaui KEWENANGAN.

Tanggapan saya ;
Untuk bpk Baktiar Lamawuran,- Pakar Hukum setelah membaca komentar di atas :

 1. Tentang subyek Pemerima Hibah, pasal 5  Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 telah mengaturnya secara limitatif sebagaimana yang diuraikan pada komentar di atas.
Formula hukum pada  Pasal 5 dimaksud telah dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 6 yang menjelaskan  kualifikasi subjek yang diatur dalam pasal 5.
Salah satu diantaranya adalah Pasal 6 ayat 5 huruf e yaitu badan yang bersifat nirlaba dan sukarela seperti kelompok masyarakat.
Sekiranya bapak Baktiar Lamawuran/ Pakar Hukum jangan berhenti di pasal 5.

Dalam hal Penafsiran Hukum, terdapat
adanya jenis penafsiran hukum yang disebut dengan Penafsiran Komprehensif atau Sistematis yaitu membaca satu ketentuan harus dikaitkan pula dengan ketentuan lainnya pada naskah Peraturan Perundang- undangan yang sama.

Sebagai orang yang mendapat nilai di bawah angka satu, saya justeru melihat bahwa TAFSIR Baktiar Lamawuran merupakan  TAFSIR PARSIAL yang hanya berkutat pada subjek dalam pasal 5 sehingga melahirkan kesimpulan yang SESAT bahwa kelompok masyarakat bukan sebagai subjek penerima hiba.

 2. Tentang Forkopimda;
Hal ini diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, BUKAN UU Nomor 32 tahun 2004.

Saya menjadi curiga bahwa bpk  Baktiar Lamawuran sebagai seorang Pakar Hukum di daerah telah lalai meng-Update Regulasi.πŸ˜‚

 3. DALAM hal upaya menemukannya sebuah ketentuan pengaturan hukum, bacalah pada isi setiap Pasal dan BUKAN pada pasal-pasal PENJELAS sebagaimana KLAIM NGAWUR bpk Baktiar.

4. PERIHAL Perbup, bpk Baktiar lebih ngawur lagi. Tolong dibaca Ketentuan pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

HARUS dipahami bahwa Tidak semua Peraturan Bupati BERSIFAT DELEGATIF. Saya ulangi lagi ya...
Bahwa tidak semua Peraturan Bupati  itu bersifat delegasian.

URAIAN bapak Baktiar yang menyinggung soal DERIVATIF menunjukan bahwa ternyata bapak adalah sosok Pakar Hukum Palsu.
Mengapa?
Perlu saya jelaskan bahwa : PERIHAL derivatif adalah perihal KEWENANGAN.

Secara Teori, penggunaan istilah derivatif oleh bapak menunjukan KENGAWURAN atau istilah yang bapak suka gunakan adalah KE KERAWA AN.

Bapak harus paham bahwa secara teori hukum, Sumber kewenangan yang bapak maksudkan itu ada dua yaitu :
1. Kewenangan Orijinal dan
2. Kewenangan Derivatif.

Nah, kewenangan Derivatif itu dibagi lagi menjadi dua bagian yakni :
1. Delegasi dan yang ke 2 adalah Mandat.

Sampai di sini bapak bisa paham?🀣🀣🀣🀣🀣🀣

Saya lanjutkan sedikit ya...

        Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 di sebutkan bahwa selain jenis peraturan perundangan sbgmana dalam hierarkhi terdapat peraturan lain yg ditetapkan seperti Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Bupati termasuk peraturan Desa sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yg lebih tinggi atau DiBENTUK BERDASARKAN Kewenangan.

JADI, Sebuah Perbup itu, dibentuk TIDAK HANYA  atas dasar Perintah Peraturan Perundangan yang lebih tinggi TETAPI  BISA PULA DIBENTUK berdasarkan kewenangan.
Pertanyaannya Kewenangan siapa?
Ya Bupati dongk!!!!

5. TENTANG Standar Biaya umum.
Perlu dipahami pula bahwa  hal itu ditetapkan BUKAN atas perintah aturan yg lebih tinggi tetapi dibentuk atas dasar kewenangan Kepala Daerah untuk kemudian  digunakan sebagai acuan dalam penyusunan  RKA Perangkat Daerah.
DAN prakteknya itu terjadi di seluruh pemerintahan daerah, baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota di seluruh Jagad Raya Indonesia.

SEHUBUNGAN dengan uraian  tanggapan saya di atas, maka saya berkesimpulan bahwa bapak Baktiar Lamawuran sudah amat sangat  ngawurrrrrrr dan KERAWA karena tidak memahami  Sistem Perundang - undangan di Indonesia.

        DEMIKIAN tanggapan saya, atas perhatian saya sampaikan terimakasih.***

Kamis, 07 Mei 2020

ANTARA BUPATI & KRBF; Ada JAKSA Penjaga Jarak.

HARI-HARI belakangan ini, laman Facebook saya cukup diramaikan dengan postingan berita, status dan komentar-komentar para Facebooker, sehubungan dengan Laporan dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Bupati Flores Timur atas Pengelolaan Keuangan Daerah dengan penekanan pada Pengelolaan  dana Hibah dan Honor Forkopimda.
LAPORAN ini oleh Koalisi Rakyat Bersatu Flores Timur yang disingkat KRBF telah disampaikan ke Kejaksaan Negeri Flores Timur.

MELAPOR seorang Bupati ditengah situasi ini, cukup berpotensi membelah konsentrasi publik Flotim yang saat ini sedang focus pada perkembangan pandemi Covid 19 di Lewotana. Dalam laporan ini pula, ke- JAKSA - an adalah ruang pilihan penjaga jarak antara KRBF dan Bupati Flores Timur.
Karena ada ruang penjaga jarak maka sudah barang tentu, antara Bupati dan KRBF tidak ada potensi terpapar virus korupsi eh salah... maksud saya virus Corona.

MATERI LAPORAN dugaan korupsi yang telah dilakukan oleh Bupati Flores Timur, oleh KRBF dengan basis data LHP BPK tentu saja KRBF memiliki argumentasi dan keyakinan hukum tersendiri. Secara gamblang, bisa terbaca dan atau terdengar pada postingan status dan beberapa bagian  vidio penyerahan laporan di Kejaksaan Negeri Flores Timur.

Saya sangka, hal ini bukan hal sepeleh dan remeh -  temeh. SEBAGAI Pejabat Publik, ada baiknya juga hal ini dilihat sebagai kontrol publik atas praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena itu, terlepas dari urusan hukum atas laporan ini, saya sangka ada  baiknya  juga kalau diikuti dengan kelarifikasi untuk disampaikan ke publik. 
Hal ini dimaksudkan bukan untuk sekedar  berbalas pantun, tetapi untuk menciptakan keseimbangan informasi bagi publik Lewotana sepanjang belum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

INI urusan hukum yang menyeret jabatan Politik !!!

KEMBALI ke Perihal Laporan;

       Dalam pandangan sempit, Saya mencoba melukiskan pikiran saya yang tentunya berbeda dengan lukisan pikiran KRBF,- sebagai pihak Pelapor dan bisa juga berbeda dengan Bupati Flores Timur sebagai pihak Terlapor.

▪PERTAMA ; Pengelolaan Dana Hibah.
Pada pokoknya, dana ini sudah digelontorkan ke kelompok-kelompok sasaran penerima.
Pada pokoknya pula, dana dimaksud sudah dimanfaatkan. Entah kepada kelompok yang mana dan untuk kepentingan apa serta berapa jumlahnya, baiklah hal ini kita lihat dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah ( NPHD ) masing-masing.

DALAM dugaan case ini, dengan keterbatasan cara pandang pula, saya coba melakukan pencermatan dan berasumsi dengan rujukan dokumen Hasil Auditing BPK.
Dengan membaca dokumen LHP BPK, dapat diasumsikan bahwa perihal Pengelolaan  Dana Hibah yang menjadi salah satu formula laporan, terdapat semacam adanya kekeliruan administrasi atau boleh disebut sebagai Mall administrasi yang tidak berpotensi TIPIKOR. Asumsi ini saya bangun berdasarkan formula LHP BPK yang bersifat Rekomendatif BUKAN Opini. Rekomendasi itu ditujukan kepada Pemda Flotim dengan arahan perbaikan administrasi. INI artinya apa? Artinya bahwa BPK dalam auditing hanya menemukan adanya kekeliruan administrasi dan karena itu harus dilakukan perbaikan.

       "Sederhananya jika ditemukan ada unsur kekeliruan administratif maka tentu saja arahan rekomendatifnya adalah agar segera dilakukan perbaikan dan  penyelesaian secara administratif pula".

Lain halnya jika ada temuan unsur pidana, sudah tentu Formula LHP BPK tidak seperti yang terbaca. Demikian pula tata cara penyampaian LHP, tentu dengan menggunakan mekanisme dan tata  cara yang berbeda pula seturut ketentuan peraturan perundang - undangan.

       ASUMSI saya atas kasus mall administrasi dalam Pengelolaan  Dana Hibah sebagaimana LHP BPK boleh jadi ditengarai oleh beberapa hal misalnya;
1. Hingga saat dilakukan auditing, Penerima hibah belum menyampaikan  laporan pertanggungjawaban pemanfaatan dana hibah,

2. Rincian Penerima hibah belum diatur secara limitatif dalam Keputusan Bupati,

3. Biaya kegiatan Peringatan 17 Agustus 2018 dianggarkan dalam belanja hibah,  yang kemudian diangap salah kamar dan mungkin saja beberapa item lainnya yang secara administrasi dinyatakan keliru dan/atau salah.

Karena itu BPK merekomendasikan untuk dilakukan perbaikan administrasi.

▪KEDUA; Honor FORKOPIMDA.

SECARA Kelembagaan sesuatu yang disebut Forkopimda ini sudah diatur secara tegas dalam pasal 26 UU Nomor  23 tahun 2014 ttg Pemerintahan Daerah, - yang kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati dengan mengeluarkan Perbup tentang kelembagaan forkopimda di Kabupaten Flores Timur dengan  pembebanan anggaran bersumber dari APBD Kabupaten Flores Timur.

Seingat saya, Perbup dimaksud ditetapkan dalam Tahun 2018.

Apa yang dilakukan oleh Bupati dalam kaitan dengan Penetapan Kelembagaan Forkopimda di daerah yang berimplikasi anggaran ini, sesungguhnya merupakan praktek ketatanegaraan yang pula dilakukan oleh seluruh gubernur dan Bupati/Walikota sejagat Indonesia.
DALAM konteks ini pula, secara Normatif telah diarahkan agar pembebanan biaya untuk honor Forkopimda dipangkukan dalam APBD Kabupaten.

JIKA semuanya sudah dilakukan atas dasar arahan regulasi, pertanyaannya adalah bagaimana dan dimana kita boleh menemukan  letak kesalahan hukum oleh Bupati Flores Timur yang telah nenimbulkan kerugian keuangan daerah dan berpotensi TIPIKOR ?

KARENA itu pula, agak miris memang saat melihat dan mendengar recaman vidio dimana ada sejumlah wartawan mewawancarai pak Kejari Flores Timur.
Terdengar pertanyaan yang sedikit aneh, dan terlihat Pak Kejari sepertinya sedikit grogi dalam memberikan jawaban ????? APAKAH mungkin karena pak Kejari sedang dongkol dengan pertanyaan aneh itu???

Semakin miris lagi adalah terbentuk opini di media bahwa Pak Kejari sudah mengakui menerima honor.  Pertanyaan lanjutan adalah
apakah memang ada yang sedang berpikir bahwa alokasi anggaran untuk honor Forkopimda dilakukan secara sembunyi- sembunyi termasuk disembunyikan pula cara pembayaran honornya?

MASIH dalam hubungan dengan resistensi atas honor Forkopimda, muncul pertanyaan, apakah yang dipersoalkan itu terkait kelayakan jumlah honor atau kepatutan Penerima Honor? -

Jika terkait kelayakan jumlah yang diterima, saya pikir cukup disampaikan ke Bupati secara langsung dalam sebuah pertemuan yang diagendakan secara baik dan/atau melalui DPRD. Tetapi jika terkait Kepatutan, saya kira memang Anggota Forkopimda patut mendapatkan honor atas dasar regulasi yang sudah ditetapkan.

Sebagaimana halnya, terakhir sebelum kenaikan honor  dalam  tahun ini, alokasi honor pada tahun sebelumnya sebesar 12,5 jt per bulan. Tentang Honor ini pula, jika saya tidak salah, sudah diatur pula dalam Perbup tentang standar biaya umum.

▪KETIGA; Tentang LHP BPK
JIKA Laporan Hasil Pemeriksaan BPK menjadi sumber bentukan opini dugaan TIPIKOR, maka saya kemudian berpikir bahwa itu adalah hak hukumnya KRBF.

Setiap siapa saja yang tidak tersangkut langsung sebagai Terlapor dan/atau Kuasa Hukum Terlapor tidak boleh PROTES kendatipun dengan membaca pasal 8 ayat (3) dan ayat (4), UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara telah memberi gambaran bahwa BPK tidak menemukan unsur Pidana yang telah dilakukan oleh Terlapor.
Artinya bahwa tidak diketemukan adanya unsur tindakan penyalahgunaan kewenangan yang kemudian berdampak pada kerugian keuangan daerah.

MENGAPA saya katakan demikian, karena JIKA ditemukan ada unsur Pidana, mengapa  BPK setelah melakukan auditing, tidak mengambil langkah sebagaimana amanat Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2004 ?

TETAPI jika KRBF tetap yakin bahwa apa  yang dilaporkan berangkat dari telaah hukum yang telah dilakukan secara saksama dan dalam tempo yang cukup maksimal maka saya kemudian berpikir bahwa;
          Ada baiknya sebelum melaporkan Bupati ke Kejaksaan Negeri Flores Timur,  terlebih dahulu melaporkan Tim Auditor BPK karena dianggap telah melanggar Kode etik Profesi.
Selain itu, Dokumen  LHP BPK dimaksud boleh dijadikan Obyek Sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jika tidak maka, saya pesimis Laporan KRBF dapat diproses lebih lanjut. Dan tidak diprosesnya Laporan sesuai harapan Pelapor BUKAN  karena efek dari penerimaan  honor Forkopimda oleh Kejari  tetapi memang tidak ada unsur Pidana yang diketemukan sebagaimana terbaca pada Dokumen LHP BPK.***

Salam dari kami
orang Kampung.#