Minggu, 10 Mei 2020

MENJAWAB BAKTIAR LAMAWURAN


        Beberapa hari lalu, di Blog ini saya telah mengukir sebuah ASUMSI atas Dokumen LHP BPK berkaitan dengan Laporan Keuangan Pemerintah  Daerah dalam Tahun Anggaran 2018.

Dokumen LHP BPK dimaksud telah membuat KRBF seakan naik pitam. Buntutnya, Bupati Flores Timur dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Flores Timur setelah dilakukan kajian dan analisa hukum yang bagi saya sungguh  luar biasa. BPK dianggap tidak cermat dalam melakukan auditing. Alasan Ketidak cermatan ini adalah telah mengabaikan sejumlah tindakan Bupati Flores Timur yang nyata-nyata bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum. Bupati Flores Timur dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum  yang kemudian telah  berdampak pada kerugian keuangan yang diderita oleh daerah.

      "KETIKA Daerah mengalami penderitaan akibat kerugian keuangan, sudah barang tentu seluruh elemen masyarakat ikut menanggung penderitaan itu termasuk KRBF"

Jika demikian, mana mungkin orang sekelas Baktiar Lamawuran yang kini menjadi aktivis KRBF mau menerima hal ini ? TENTU saja TIDAK !!!
Ia ( Baktiar Lamawuran ) bukanlah tipe manusia sembarangan. Ia seorang Politisi,- Mantan ADPRD Kabupaten Flores Timur, yang dikenal luas sebagai sosok yang ANTI KORUPSI, Bersih, cerdas di bidang Hukum dan layak menyandang Predikat sebagai seorang Pakar Hukum di Flores Timur. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚...

Saya mengenal beliau sebagai sosok ANTI KORUPSI selama  menjadi ADPRD bersamaan dengan kepemimpinan politik daerah ini dalam tangan Alm. Felix Fernandez.
Ketika itu, Ia benar-benar bersih dan membenci prilaku korupπŸ€£πŸ˜‚πŸ€£

BUNTUT dari resistensi atas LHP BPK ini, KRBF melaporkan Bupati Flores Timur ke Kejaksaan Negeri Flores Timur.

ATAS Laporan itu, untuk mengisi waktu nganggur, saya melukiskan asumsi saya pada blog ini dan kemudian menjadikan TS pada akun FB saya dan di Grup Suara Flotim.

Apa yang terjadi?
Saya telah mendapat kecaman yang luar biasa dan mendapatkan nilai di bawah satu.🀣🀣🀣🀣
Saya dianggap tidak paham hukum, tidak mengerti Politik Anggaran, membela Tuan  dan sejumlah sebutan lain yang sudah saya copy paste di bawah ini. DAN karena itu, sambil mengakui keterbatasan cara pandang saya, saya mencoba memberikan tanggapan sederhana atas formula komentar dari Baktiar Lamawuran pada TS saya yang telah ter -coppy.

JIKA siapa saja yang telah berkesempatan membuka Blog ini, baca baik-baik Terlebih dahilu KECAMAN dari Baktiar Lamawuran di bawah ini dan melanjutkannya dengan membaca tanggapannya.

INI BUKAN Komentar Seorang Pakar Hukum yang Berpikir dengan menggunakan kemauan Perut;

        "Mhn maaf ade Rofin kopong, pendapat hukum yg ade kemukakan diatas cenderung merupahkan sebuah opini liar krn tdk disandarkan pd PERMENDAGRI NO 14 THN 2016 TTG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERMENDAGRI NO 32 THN 2011 TTG PEDOMAN PEMBERIAN HIBA DAN BANSOS YG BERSUMBER DARI APBD.
Psl 5.
Hiba dpt diberikan kepada :
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah Daerah lainnya;
c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
d. Badan, Lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yg berbadan hukum Indonesia.
Psl ini merupahkan induk semangnya Belanja Hiba utk thn anggaran 2016 s/d sekarang.
Yg dipermasalahkan oleh kami KRBF adalah Belanja Hiba utk kelompok masyarakat yg mengartikulasikan diri dlm kelompok bereun senaren sejak TA 2018 dan 2019 diDUGA terjadi kerugian negara senilai 11 milyar rupiah lebih.
Pak Rofin berpikir lompat dan tdk beraturan langsung menyebutkan NPHD.
Pertanyaan sy adalah dlm psl 5 ini; apakah menyebut kelompok masyarakat??? sbg obyek hukum belanja hiba???
Pak Rofin tolong baca agar   pak rofin bisa dan dapat mengerti termasuk dg proses penganggaran dlm Permendagri ini. Juga bandingkan dg psl 5 Permendagri 32 thn 2011 psl 5 yg telah dirubah dg permendagri perubahan ini sehingga jgn sampai nanti publik menilai (bukan saya ama bhw pak rofin kopong sarjana hukum tapi tdk mengerti hukum amane.

2. Ternyata ilmu pengetahuan hukum pak rofin kopong sarjana hukum ttg produk hukum hampir saya sebut dibawah standar.
Ttg Forkompinda yg diatur dlm psl 26 UU Nomor 32 ttg Pemerintahan Daerah yg telah beberapa kali berubah.
Membaca sebuah produk hukum yg benar adalah; Membaca Judulnya, Konsiderans(Menimbang, Mengingat) sbg syarat sosiologis, Filosofis dan yuridis serta diktum dan penjelasan (ttg penjelasan oleh beberapa ahli HTN tertentu mengatakan "penjelasan" bukan merupahkan satu kesatuan dictum.
Salah satu peraturan Bupati Ttg ttg SBU(Standar Biaya umum) mengatur belanja honor forkompinda itu BUPATI memperoleh KEWENANGAN derifat oleh UU atau Peraturan Pemerintah dari dusun mana? Karena pd konsiderans mengingat dari PERDA NO 12 THN 2019 Ttg APBD KABUPATEN FLOTIM Tidak terbaca Nomor dan Tahun Peraturan Pemerintah yg didelegasikan oleh UU ttg PEMDA.
Bupati Flotim TANPA Kewenangan dan ceroboh mengatur angka uang dlm sebuah produk hukum.
Coba ama bandingkan dg tunjangan sewa rumah, tunjangan transportasi yg langsung diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah ttg susunan kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dprd dan adprd.
Jadi pak Rofin hrs lebih banyak lagi membaca beberapa referensi keAPBDan sehingga dlm medsos ini TIDAK hanya asal bunyi(verbatim) yg pd giliran hanya merombengkan keserjanaan bpk Rofin Kopong.
JANGAN POLITISASI HUKUM krn hanya cuma  membela Tuan.
Dalam psl 26 ayat(2) UU TTG PEMDA Menyebutkan Bupati sbg ketua dg anggotanya sbb: pimpinan dprd, kapolres, kajari, kodim.
Yg tdk termasuk dlm forkompinda menurut psl ini adalah; wkl bupati, sekda, ketua pengadilan dan kepala sekretariat.
Bukankah Bupati flotim nyata nyata bertindak melampaui KEWENANGAN.

Tanggapan saya ;
Untuk bpk Baktiar Lamawuran,- Pakar Hukum setelah membaca komentar di atas :

 1. Tentang subyek Pemerima Hibah, pasal 5  Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 telah mengaturnya secara limitatif sebagaimana yang diuraikan pada komentar di atas.
Formula hukum pada  Pasal 5 dimaksud telah dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 6 yang menjelaskan  kualifikasi subjek yang diatur dalam pasal 5.
Salah satu diantaranya adalah Pasal 6 ayat 5 huruf e yaitu badan yang bersifat nirlaba dan sukarela seperti kelompok masyarakat.
Sekiranya bapak Baktiar Lamawuran/ Pakar Hukum jangan berhenti di pasal 5.

Dalam hal Penafsiran Hukum, terdapat
adanya jenis penafsiran hukum yang disebut dengan Penafsiran Komprehensif atau Sistematis yaitu membaca satu ketentuan harus dikaitkan pula dengan ketentuan lainnya pada naskah Peraturan Perundang- undangan yang sama.

Sebagai orang yang mendapat nilai di bawah angka satu, saya justeru melihat bahwa TAFSIR Baktiar Lamawuran merupakan  TAFSIR PARSIAL yang hanya berkutat pada subjek dalam pasal 5 sehingga melahirkan kesimpulan yang SESAT bahwa kelompok masyarakat bukan sebagai subjek penerima hiba.

 2. Tentang Forkopimda;
Hal ini diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, BUKAN UU Nomor 32 tahun 2004.

Saya menjadi curiga bahwa bpk  Baktiar Lamawuran sebagai seorang Pakar Hukum di daerah telah lalai meng-Update Regulasi.πŸ˜‚

 3. DALAM hal upaya menemukannya sebuah ketentuan pengaturan hukum, bacalah pada isi setiap Pasal dan BUKAN pada pasal-pasal PENJELAS sebagaimana KLAIM NGAWUR bpk Baktiar.

4. PERIHAL Perbup, bpk Baktiar lebih ngawur lagi. Tolong dibaca Ketentuan pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

HARUS dipahami bahwa Tidak semua Peraturan Bupati BERSIFAT DELEGATIF. Saya ulangi lagi ya...
Bahwa tidak semua Peraturan Bupati  itu bersifat delegasian.

URAIAN bapak Baktiar yang menyinggung soal DERIVATIF menunjukan bahwa ternyata bapak adalah sosok Pakar Hukum Palsu.
Mengapa?
Perlu saya jelaskan bahwa : PERIHAL derivatif adalah perihal KEWENANGAN.

Secara Teori, penggunaan istilah derivatif oleh bapak menunjukan KENGAWURAN atau istilah yang bapak suka gunakan adalah KE KERAWA AN.

Bapak harus paham bahwa secara teori hukum, Sumber kewenangan yang bapak maksudkan itu ada dua yaitu :
1. Kewenangan Orijinal dan
2. Kewenangan Derivatif.

Nah, kewenangan Derivatif itu dibagi lagi menjadi dua bagian yakni :
1. Delegasi dan yang ke 2 adalah Mandat.

Sampai di sini bapak bisa paham?🀣🀣🀣🀣🀣🀣

Saya lanjutkan sedikit ya...

        Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 di sebutkan bahwa selain jenis peraturan perundangan sbgmana dalam hierarkhi terdapat peraturan lain yg ditetapkan seperti Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Bupati termasuk peraturan Desa sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yg lebih tinggi atau DiBENTUK BERDASARKAN Kewenangan.

JADI, Sebuah Perbup itu, dibentuk TIDAK HANYA  atas dasar Perintah Peraturan Perundangan yang lebih tinggi TETAPI  BISA PULA DIBENTUK berdasarkan kewenangan.
Pertanyaannya Kewenangan siapa?
Ya Bupati dongk!!!!

5. TENTANG Standar Biaya umum.
Perlu dipahami pula bahwa  hal itu ditetapkan BUKAN atas perintah aturan yg lebih tinggi tetapi dibentuk atas dasar kewenangan Kepala Daerah untuk kemudian  digunakan sebagai acuan dalam penyusunan  RKA Perangkat Daerah.
DAN prakteknya itu terjadi di seluruh pemerintahan daerah, baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota di seluruh Jagad Raya Indonesia.

SEHUBUNGAN dengan uraian  tanggapan saya di atas, maka saya berkesimpulan bahwa bapak Baktiar Lamawuran sudah amat sangat  ngawurrrrrrr dan KERAWA karena tidak memahami  Sistem Perundang - undangan di Indonesia.

        DEMIKIAN tanggapan saya, atas perhatian saya sampaikan terimakasih.***

6 komentar:

  1. Membaca uraian para pakar serasa menikmati madu dan susu di padang belantara..

    BalasHapus
  2. πŸ‘ ini baru kita bisa paham

    BalasHapus
  3. Slm super... membaca blog ini bisa memberikan wawasan hukum gratis. Terimakasih.

    BalasHapus
  4. Di atas langit masih ada langit.terimakasih pak Rofin atas tulisan ini.sebuah pelajaran yg baik tentang hukum.kalau mau hebat jangan setengah mengerti.

    BalasHapus