Dua hari sibuk di luar rumah membuat rumah diobok-obok dan dikotori oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Diam-diam ia masuk melihat isi rumah sambil mengotorinya lalu diam-diam pula ia pergi sambil menceritakan keburukan kepada tetangganya yang bernama Si Buta.
Karena Buta, tentu saja ia tak tahu kalau yang mengantar cerita itu adalah seorang anak kecil yang belum cukup mampu membersihkan ingus pada hidungnya meski terasa besar jabatan yang sedang diemban. Karena Buta pula, ia tak tahu bahwa sebuah jabatan tidak mesti menjadi representasi kapasitas seseorang.
Si Buta kemudian meneruskan cerita itu dan meminta semua orang untuk menjadikan cerita itu sebagai PEMBANDING. Alhasil, cerita itu bagaikan si jago merah melahap habis rerumputan kering, tikus-tikus di lubang tanah, kecoak di pepohonan, ular beludak pada semak belukar, Tokek pada batang pohon, Kadal pada bebatuan dan cecak-cecak pada ranting-ranting kayu kering.
FORMULA di atas hanyalah sekedar pengandaian sekaligus pengantar untuk menyapu buang serpihan sampah yang mengotori tulisan saya terdahulu. Serpihan sampah itu adalah komentar yang saya nilai sebagai sampah yang harus disapu untuk dibakar sebab sangat tidak produktif.
Sampah-sampah yang saya maksudkan, berserakan seperti ini:
PERTAMA :
Honor Forkopimda itu sudah ditetapkan dalam APBD antara DPRD dan Pemerintah (Bupati) oleh karena APBD itu menjadi PERDA maka dijabarkan oleh Bupati dalam Perbup untuk teknis Operasinalnya.
NARASI di atas sedang menggambarkan bahwa Penulis sungguh tidak paham apa-apa soal ini.
Harus diketahui bahwa Honor Fokopimda itu TIDAK diatur dan ditetapkan dalam PERDA APBD.- Perda APBD hanya memuat Program dan Kegiatan setiap OPD dengan biaya secara gelondongan yang kemudian total biaya secara gelondongan dimasud diuraikan lebih lanjut dalam PERBUP tentang Penjabaran APBD.
Nah, dalam kaitan dengan Honor Forkopimda, harus diketahui pula bahwa perihal ini diatur dalam PERBUP tentang SBU dimana PERBUP ini ditetapkan MENDAHULUI PERDA APBD.
PERBUP tentang SBU ditetapkan oleh Bupati sebagai acuan dalam penyusunan RKA masing-masing OPD untuk kemudian dirampungkan menjadi Rancangan APBD yang selanjutnya dibahas oleh DPRD bersama Pemerintah (Bupati) dan ditetapkan sebagai PERDA APBD.
Jadi jangan sesat pikir bahwa PERBUP tentang SBU itu adalah penjabaran teknis Operasional dari PERDA APBD. !!!
Bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran yang pembentukannya melalui mekanisme dan rujukan sejumlah ketentuan hukum sebagaimana diuraikan adalah bukan sesuatu yang tabuh bagi Pemerintah Daerah karena itu TIDAK PENTING untuk dijelaskan lagi. Toh yang memberikan penjelasan ini adalah orang yang hanya mengenal teori yang mungkin saja baru berkesempatan membaca hanya untuk mengotori ruang publik. Sejak kapan penulis melakukan hal ini seperti Pemerintah Daerah yang selalu berulang tahun mengurus hal yanfg sama?
APA LAGI Penulis melatih diri untuk ber-eksen seolah Dosen Hukum dengan mengedepankan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 sebagai salah satu rujukan hukum dalam mempersoalkan penetapan PERBUP SBU oleh Bupati.
He, Tidak tahu kah bahwa PP Nomor 12 Tahun 2019 telah dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 sebagaimana terbaca pada pasal 6 yang menegaskan bahwa Ketentuan Mengenai Standar harga satuan regional sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dan standar biaya perjalanan dinas luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 digunakan paling lambat untuk perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021 ????????
OLEH KARENA ketidak tahuan inilah maka logika hukum yang telah dibangun itu adalah sampah, aneh dan lucu serta hanya ada dalam alam pikiran penulis itu sendiri.
Mengapa ?
Bagaimana bisa menilai Praktek Pemerintahan dalam Tahun 2018 dengan menggunakan rujukan hukum yang baru akan berlaku dalam Tahun 2021 nanti?
BERHENTILAH menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah itu sangat tidak masuk akal sebab yang tidak masuk akal itu adalah akal mu sendiri. Aapalagi menyerukan kepada para pejabat yang telah menerima honor itu untuk mengembalikan uang rakyat agar honor itu tidak menjadi horor yang menyeret mereka ke meja hijau….hehehehehe,,, JANGAN meremehkan para pejabat dimaksud dengan ancaman itu. Jangan buat diri seolah-olah hebat dan paling benar !!!
KEDUA :
Perihal LHP BPK menjadi obyek sengketa TUN;
Dalam Tulisan yang dishare di SF, kata Penulis telah ditanyai oleh beberapa orang yang membaca pendapat dalam tulisan saya. Penulis tidak langsung menjawab tapi tetapi tertawa lucu.
Narasi ini sedang menggambarkan kesombongan kosong penulis dalam menempatkan diri seolah orang hebat di hadapan beberapa orang yang bertanya kepadanya. INI tipologi anak akil balik yang sedang merasah diri hebat karena predikat Magister dan dalam level jabatan yang tidak pernah diemban oleh kebanyakan orang di kampung halamannya. Nampaknya ia sedang gagal beradaptasi dengan lingkungan dan jabatan yang sedang diemban.
HENDAKnya tidak perlu eksen dengan menguraikan definisi sebuah Keputusan TUN seolah hal ini tabuh bagi banyak orang. Pula tidak perlu menggurui dengan menguraikan pemahaman konyol bahwa LHP BPK BUKANLAH obyek sengketa TUN dan siapa yang memiliki legal standing dalam menggugat LHP BPK.
Saya kasih Pemahaman ya, meski karena kegagalan mu beradaptasi sehingga ini kau anggap pemahaman sempit tapi setidaknya boleh membuat mu mengerti bahwa;
Pada pasal 1 butir 14 UU Nomor 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggu-jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai KEPUTUSAN BPK.
Atas dasar ketentuan di atas, saya menyarankan untuk KRBF menggugat BPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan menjadikan LHP BPK dimaksud sebagai Obyek Sengketa TUN.
TERKAIT ketentuan di atas, dalam Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, suda ada sejumlah gugatan ke PTUN atas LHP BPK.
Ada contoh kasus yang sengaja saya nyatakan di sini untuk diketahui seperti ;
▪ Di Jambi, Majelis Hakim PTUN menyidangkan dan memenangkan gugatan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Unit Pengelola Campuran Aspal (UPCA) Kota Jambi Ajrisa Windra, atas Kepala BPK RI Perwakilan Provinsi Jambi terkait LHP BPK RI Perwakilan Jambi dimana dalam LHP tersebut BPK menemukan adanya kerugian Negara sebesar Rp. 5,1 Miliard di UPCA.
▪ Contoh kasus lain, kalau saya tidak salah ingat yakni kasusnya Pengacara O.C. kaligis.
▪ Contoh kasus lain lagi yang berkaitan dengan gugatan TUN dengan LHP BPK sebagai obyek sengketa TUN adalah oleh seorang yang bernama Benny Tjokro melaporkan BPK ke Peradilan tata Usaha Negara (PTUN) jakarta terkait Pemeriksaan Kasus PT Asuransi Jiwasraya.
KENDATIPUN hingga kini masih ada pertentangan di kalangan Hakim TUN terkait patut tidaknya LHP BPK sebagai obyek sengketa, tetapi fakta peradilan TUN di berbagai daerah telah membuktikan bahwa LHP BPK adalah KEPUTUSAN yang patut menjadi Obyek sengketa.
HAL ini dapat dipahami bahwa, dalam setiap persidangan gugatan di PTUN, ada tahap persidangan yang dikenal dengan Dismissal Proses atau Pemeriksaan Persiapan.
Terhadap contoh kasus di atas, dapat diketahui pula bahwa JIKA LHP BPK itu tidak dapat digugat ke PTUN sebagaimana penafsiran sesat itu maka sudah barang tentu gugatan itu akan ditolak oleh PTUN pada tingkatan Dismissal Proses.
Tapi mengapa gugatan diterima dan disidangkan kemudian ada Putusan Majelis Hakim ????
JIKA praktek seperti ini salah dan mungkin saja terkait Prilaku Hakim, maka saya kira baik kalau KOMISI YUDISIAL bisa kedengaran berperan dari pada hidup di antara ada dan tiada.
BERIKUT soal siapa yang memiliki Legal Standing dalam menggugat ?,- Dalam konteks KRBF, bisa dilakukan oleh salah satu Aktivis dengan tidak mengedepankan nama KRBF untuk kepentingan pemenuhan syarat hukum gugatan..
DENGAN begitu, saya kira sampah-sampah yang berserakan sudah saya sudah disapu bersih dan kiranya jika ada yang hendak berkunjung ke akun FB atau Blog saya, silahkan berkunjung dengan senang hati.
Mari kita menyatakan pikiran kita dengan disposisi batin kita yang tak pernah menyimpan KEPAHITAN._ Biar segala tafsir kita terucap secara santun sebagai Ata Diken bukan sebaliknya.
SEBEB lebih elok adalah menyatakan seseorang MUNGKIN BENAR
Dari pada menyatakan SALAH dengan menggunakan KESALAHAN kita sendiri. ***
Sepakat Rofin. Sy sendiri muak sekali dgn perilaku mrk yg seolah2 paling benar dlm memberikan argumentasi. Buat laporan sana-sini seperti anak kecil yg di cubit teman nya lalu lapor sama bpk dan mama nya. Salam...Tulisan yg mencerahkan.
BalasHapussy jga baca ttng brita itu dn sran sy PEMDA tlng panggil mreka sbg anggota msysrkt tuk mnjlskn dudk prsoalnnya agr tdk mngotori pikirn rakyt yg lgi kalut dg pandemi virus corona ..ktimbng ribut di medsos yg sling mmbnrkn diri dn argumnnya masng2 ......
BalasHapusmantap pak... Dibalik perjuanagan mereka pasti ada maksud terselubung. Apalgi sya lihat sudah ada wajah2 yang menghiasi grup2 sosmed untuk suksesi kali berikut. sepertinya mereka menggiring opini masyarakat bahwa Pemerintahan saat ini, baik Eksekutif maupun Legislatif tidak pro rakyat... Pemain lama..
BalasHapusSukses Pak.. GBU
Kesan saya ketika pertama kali membaca "sampah yang berserakan" di Group SF sebagai opini hukum dari seseorang yang disebutkan sebagai Pimpinan sebuah lembaga negara yang berkedudukan di daerah adalah bahwa opini tersebut dihasilkan oleh seseorang yang sangat arogan. Baginya Pemda Flotim telah membuat kebijakan yang tak masuk akal terkait besaran honor Forkopimda dan menyarankan para penerima honor untuk mengembalikannya. Apa kapasitasnya sehingga dengan gampangnya dia menilai kebijakan Pemda ttg Forkopimda sebagai sesuatu yang tak masuk akal dan untuk itu honor yang dihasilkan dari kebijakan tak masuk akal tersebut harus dikembalikan ke kas negara? Dalam opininya, Dia memposisikan dirinya seakan-akan sebagai "Kebenaran an sich" sehingga semua pendapat hukum lain haruslah berkiblat padanya.
BalasHapusSalut buat blog Rofin Kopong Menulis yang dengan bahasa yang ringan dan perumpamaan yang "menghibur" mampu mematahkan satu per satu argumentasi hukum dari "seorang anak kecil yang belum cukup mampu membersihkan ingus pada hidungnya."
Kami yang ikut berkomentar pada tulisan Pak Rofin, dianggap sampah !
BalasHapusMenurut saya ini penilaian yang tidak berkualitas. Tampa pendapat orang lain, maka Pak Rofin tidak akan berpikir maju.
Apapun yg anda perbuat / katakan, tentu ada pehak yg kecewa.... Tetapi usahakan jangan kecewakan orang yg salah.... Salam.
BalasHapusMenyapih terus agar sampah takada lagi. Elok nian rumahmu nanti Abang.
BalasHapus